Tugas 3 Bahasa Indonesia Memproduksi Teks Cerita Fiksi dalam Novel secara Bersama



Tugas 3
Memproduksi Teks Cerita Fiksi dalam Novel secara Bersama

7.        Tulislah teks cerita yang kalian bangun sesuai dengan tema, alur, serta tokoh dan penokohan yang telah kalian buat sebelumnya, sesuai dengan struktur yang membangun teks cerita fiksi.
No.
Struktur Teks
Peristiwa
1.
Abstrak
Impian itu tak berhenti begitu saja, ia akan terus mencari jalan demi secercah harapan yang ada. Tidak peduli bagaimanapun itu, ia akan terus diperjuangkan agar tetap menjadi nyawa bagi pemiliknya.
Permainan lighting sangatlah mengagumkan. Sorotan cahayanya dapat mengubah aura siapa saja. Penonton bersorak riang sekaligus kagum. Bukan terpaku pada permainan lighting, tetapi lebih pada siapa yang disorot. Di sinilah mimpi itu bermula dan terus menjadi besar. Kemudian Tuhan mulai menyentuhnya dengan sedikit ‘permainan’ untuk membuktikan seberapa kuat dan tangguh sang pemilik mimpi.
2.
Orientasi
Seketika panggung bergoncang hebat karena suara riuh para penonton. Sebuket bunga diberikan oleh penyelenggara acara pada Sofia yang lagi-lagi memenangkan perlombaan piano di sekolahnya. Julukan ‘Master Piano’ memang pantas diberikan padanya.
Selepas acara perlombaan, Sofia segera berlari menuju backstage. Mengamankan diri di sana. Sofia lebih banyak berpikir ketika ia berada di backstage. Yang ia pikirkan adalah ‘Untuk apa ia bermain piano?’, ‘Mengapa ia tak bisa merasakan kebahagiaan ketika mendapat penghargaan?’, dan masih banyak lagi.
“Ibu...,” ucapnya lirih.
“Oh, anakku! Ibu mencarimu kemana-mana. Hei, kenapa wajahmu kaku begitu? Kamu sama sekali tidak terlihat bahagia, Nak. Padahal Ibu senang sekali! Ini Ibu bawakan roti cokelat kesukaanmu,” ujar Ibu Sofia.
“Aku tidak apa-apa, Bu. Hanya saja perlombaan tadi terlalu biasa bagiku,” goda Sofia dengan senyuman getir.
“Haha, Ibu tahu itu. Oke, ayo kita pulang. Ibu sudah memasakkan makanan favoritmu di rumah.”
Sofia meninggalkan backstage bersama ibunya. Pertanyaan-pertannyaannya bahkan masih belum bisa ia jawab.
Di tengah jalan menuju tempat parkir, Sofia dan ibunya berpapasan dengan Noval, musuh bebuyutan mereka. Noval memiliki tampang seperti seorang psikopat. Dingin, menakutkan, dan kejam. Sayang, postur tubuhnya tidak begitu mendukung parasnya itu.
“Bagaimana rasanya kalah untuk kesekian kalinya? Aku rasa usahamu tak akan mampu mengalahkanku. Oya, aku tahu jika kau sengaja menjatuhkan notasi laguku tadi. Sepertinya wajah psikopatmu tidak bisa berakting dengan baik,” tanya Sofia sinis.
Wajah Noval merah padam. Kedua tangannya menggenggam erat. Giginya gemeretakan. Saat ini Noval menyerupai banteng mengamuk.
“Akan kubuktikan, suatu saat nanti aku akan berada di atasmu! Aku tak pernah menyerah! Menjatuhkan gadis sombong sepertimu sangatlah mudah,” balas Noval tak kalah sengit.
“Hei, jaga bicaramu! Ayo kita pulang! Jangan hiraukan anak itu,” bela Ibu Sofia.
“Aku juga tidak sabar melihatmu mengalahkanku,” Sofia melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan perang yang lagi-lagi terjadi.
“Lihat saja, Tuhan yang akan membalas perbuatanmu ini, Sofia!” geram Noval yang juga langsung meninggalkan TKP.
Di waktu yang bersamaan, perlombaan yang berbeda sedang diadakan di tempat yang berbeda pula. Kali ini, penontonnya lebih ramai dan panggungnya lebih sederhana. Yap, pertandingan basket. Tim A melawan Tim B. Sebut saja seperti itu.
Singkat cerita Tim B memenangkan perlombaan. Piala kemudian diberikan kepada ‘best player’ dari Tim B. Bryan. Itulah yang tertulis di bagian belakang baju kebangsaannya dengan nomor 4. Pemain dari Tim B mengerubungi Bryan, yang tingginya berada pada urutan pertama di antara mereka.
“Sudah kukatakan kita pasti membawa pulang piala ini! Hahaha,” ucap Bryan bangga.
“Memang kapan kau berkata seperti itu?” celetuk salah satu teman satu timnya.
“Sudahlah, yang penting sekarang kita telah berhasil membawa pulang piala ini!”
“Anakku! Bryan! Ibu sangat bangga padamu!” Ibu Bryan tiba-tiba datang di tengah-tengah gerombolan Tim B.
“Ah, Ibu. Ini belum apa-apa. Akan kutunjukkan kemenanganku di pertandingan yang lebih hebat berikutnya!” ucap Bryan percaya diri.
3.
Komplikasi
“Apa kamu lelah, Sofia?” tanya Ibu Sofia sambil mengemudi.
“Sedikit,” jawab Sofia singkat. Ia terus mengarahkan kepalanya ke luar jendela. Menyibukkan diri melihat pemandangan di sepanjang jalan.
“Kalau begitu, setelah ini kamu harus istirahat total, Nak. Karena Ibu ingin kamu mengikuti kompetensi piano di Jakarta bulan depan. Tapi belum diketahui jenis lombanya seperti apa,” terang Ibu Sofia.
Sofia terdiam. Sempat ia menghela napas. Lelah. Lagi-lagi ia bagai patung yang tak bisa berbicara. Toh, Ibunya akan tetap mendaftarkan dirinya di kompetensi piano itu tanpa mendengar jawabannya terlebih dahulu.
“IBU, AWAS!!!”
Braaakkk....
“Aaak!” teriak Bryan kesakitan. Entah mengapa tiba-tiba kaki kirinya terasa sangat sakit. Lebih tepatnya di bagian lutut.
“Oh, anakku! Ada apa? Aduh, bagaimana ini? Tolong!” teriak Ibu Bryan panik melihat ekspresi kesakitan anaknya.
Dengan cepat petugas kesehatan datang menghampiri Bryan lalu membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapat tindakan medis lebih lanjut. Suasana langsung berubah panik dan tegang.
Saat in Bryan berbaring di ranjang rumah sakit yang hampir tak muat menampung tubuh panjangnya. Lutut kirinya dibalut gips. Keringat bercucuran dari wajahnya. Matanya yang sipit terlihat segaris karena menahan sakit.
“Ibu punya berita buruk sekaligus berita baik, Bryan,” ucap pelan Ibu Bryan.
“Aku tidak bisa bermain basket lagi, kan?” tanya Bryan. Sepertinya ia telah mengetahui resiko terburuk dari kecelakaan yang baru saja ia alami. Dan sepertinya perkiraannya benar.
Ibu Bryan tertunduk sedih. Air matanya menyeruak keluar tanpa permisi. Padahal ia tak ingin tampak lemah di hadapan Bryan. Seharusnya ia bersikap kuat dan tersenyum agar tak semakin menjatuhkan mental Bryan.
“Kamu mau ke mana, Bryan?” Sontak Ibu Bryan terkejut melihat Bryan yang akan beranjak dari ranjangnya.
“Aku ingin mencari udara segar dulu, Bu.”
“Pakai ini. Dokter mengatakan kamu harus memakai penyangga ini sampai kakimu sembuh. Dan... kamu juga harus berhenti bermain basket.”
“Aku keluar dulu, Bu.” Bryan mengangguk lalu segera beranjak dari ranjangnya.
Bryan tampak menyembunyikan kesedihan sekaligus rasa tidak terimanya. Ia bingung dengan sikapnya. Seharusnya ia menangis atau apalah. Tapi, ia tak bisa melakukan itu.
“Aku tak bisa melihat apa-apa, Bu,” ujar Sofia lirih.
“Coba pejamkan matamu lagi. Ayo, kamu pasti masih bisa melihat Sofia!” Ibu Sofia memegang pundak anaknya lalu menggoyangnya pelan. Raut shock begitu nampak dari wajahnya. Berbeda dengan wajah Sofia yang datar-datar saja.
“Ibu, mari ikut kami ke ruang dokter terlebih dahulu,” ucap salah seorang suster. Ibu Sofia yang tak berdaya langsung menuruti ajakan suster itu.
“Ternyata aku memang tidak bisa melihat apa-apa,” ujar Sofia lirih saat berjalan sendirian menyusuri koridor rumah sakit. Tiba-tiba ia menabrak seseorang.
“Oh! Maaf, bisakah Anda mengantar saja ke atap?” Sofia memegang kain baju orang tersebut. Tak terdengar jawaban. Sepertinya orang itu sedang menatapnya.
“Kau tidak bisa melihat? Oh, maaf seharusnya aku tidak berkata seperti itu. Oke, aku antar. Pegang ini.” Orang tersebut mengarahkan tangan Sofia ke saku bajunya.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya mereka sampai di suatu tempat. “Sudah sampai,” ucap  Bryan.
“Terima kasih. Sekarang kau boleh pergi,”
Bryan penasaran apa yang akan dilakukan gadis itu. Nalurinya mengatakan ia tak boleh pergi. Akhirnya ia menunggu di bagian yang lain dari tempat itu.
Sofia terdiam sejenak. Merasakan hembusan angin yang mengibarkan rambut panjangnya. Kemudian ia mulai berjalan ke arah depan pelan-pelan. Hingga ia memegang pembatas. Tubuhnya bergetar hebat ketika ia berhasil melangkahi pembatas itu. Berbagai pertanyaan muncul di otaknya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang ia ambil sudah benar.
Di dalam hatinya, Sofia mengitung. Jika sampai di angka 3, ia akan melompat. Satu... dua... tiga....
Seketika Sofia menangis. Sedih antara ia tidak jadi mati atau lelaki itu telah menipunya. Sofia sadar jika ia tidak berada di atap gedung melainkan entah di mana. Yang jelas ia baru saja melompat dari undakan yang tingginya tak akan membuat orang terjatuh apalagi sampai kehilangan nyawa.
“Kau benar-benar mencoba bunuh diri rupanya. Jangan bersikap bodoh. Payah sekali hidupmu.”
Sofia tersentak. Jangan-jangan itu suara dari lelaki yang membawanya ke sana.
“Kau membohongiku! Tempat ini bukan atap rumah sakit! Satu lagi, hidupmu yang payah!” balas Sofia. Ia kesal dengan lelaki itu.
“Ayo bangun. Akan kuantarkan kau kembali ke ruanganmu. Hei, jangan menangis. Aku tidak mau orang-orang mengira bahwa aku yang membuatmu menangis.”
“Memang benar kau yang membuatku menangis!”
4.
Evaluasi
“Aku tidak mau bermain piano lagi.” Sofia duduk di ranjang kamarnya ditemani sang Ibu.
“Tidak bisa. Kamu harus tetap bermain piano, Sofia. Apa kamu tidak ingat sudah seberapa jauh kamu melangkah? Ibu akan terus mendukungmu, Sofia. Jangan menyerah begitu saja,” ujar Ibu Sofia.
“Ibu tidak pernah tahu jika selama ini aku tidak benar-benar menyukai piano. Atau lebih tepatnya aku tidak tahu apakah aku menyukai piano atau tidak. Aku memang selalu memenangkan perlombaan. Tetapi aku tidak merasakan apa-apa saat memegang piala,” terang Sofia.
“Tidak Sofia. Piano sudah melekat pada dirimu. Kamu dikenal karena kehebatanmu memainkan piano. Banyak orang mengagumi Sofia. Ibu akan mendaftarkanmu ke tempat les piano khusus untuk memudahkanmu berlatih.”
Lagi-lagi Sofia tak berdaya. Ibunya selalu bertindak sepihak. Tidak mendengarkan jawabannya terlebih dahulu. Semua keputusan selalu berada di tangannya.
“Ibu! Aku akan coba bermain piano!”
“Oh.... Apa kamu yakin, Nak?”
“Mengapa Ibu meragukanku? Aku ini adalah anak dari Ibu yang hebat. Jadi aku bisa melakukan apa saja. Benar kan, Bu?”
Bryan terlihat bersemangat. Tangannya memegang selembar brosur tentang lowongan penerimaan siswa baru di sekolah menengah khusus piano. Ibunya hanya mengulum senyum tulus padanya.
5.
Resolusi
Keesokan harinya, Bryan mengunjungi sekolah khusus piano idamannya. Usai melakukan pendaftaran dan resmi diterima sebagai siswa baru di sekolah itu, ia menyempatkan diri berjalan-jalan sejenak. Sempat terlintas di benaknya mungkinkah ia bisa bermain piano?
Saat melewati depan kantin, ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Sebuah papan informasi yang di dalamnya terdapat foto seorang gadis yang mencoba bunuh diri sewaktu ia berada di rumah sakit. Ia kaget mengetahui jika gadis itu adalah pianis yang hebat.
Usai membaca informasi itu, Bryan kembali dikejutkan sesuatu. Gadis yang sedang ia pikirkan muncul di hadapannya. Gadis yang mencoba bunuh diri itu sedang makan sendirian di kantin. Bryan memutuskan menghampiri Sofia.
“Aku rasa kita akan segera menjadi teman baik.” Sofia terkejut bukan main mendengar suara Bryan di sela-sela makannya.
“Si... siapa kamu?”
“Begitu cepatnya kau melupakan aku rupanya. Payah.”
“Hei, kau laki-laki menyebalkan waktu itu kan? Ada apa kau ke sini? Jangan ganggu aku!” Suara keras Sofia membuat beberapa siswa lain menoleh ke arah mereka.
“Ssstt.... kecilkan suaramu. Orang lain melihat kita. Oh, karena kita akan menjadi teman baik, kenalkan namaku Bryan. Dan aku tidak menyangka kau adalah pianis hebat di sekolah ini, Sofia,” terang Bryan.
“Dari mana kau tahu namaku? Kau mata-mata ya?”
“Aku membaca namamu di papan informasi. Kebetulan sekali, karena kita sudah saling  mengenal, maukah kau mengajari aku bermain piano? Aku tak pernah bermain piano. Bahkan aku juga belum pernah menyentuhnya.”
“Tidak mau. Buang-buang waktuku saja,” ujar Sofia.
“Ayolah aku mohon. Aku tidak bisa bermain basket lagi karena lututku cedera. Aku harus mencari cara lain untuk membahagiakan ibuku. Jadi kuputuskan untuk mencoba bermain piano karena kebetulan aku menemukan brosur sekolah ini,” imbuh Bryan.
“Kau ini cerewet sekali ya? Sudah kubilang kalau aku tidak akan mengajari siapapun. Dan yang perlu kau garis bawahi, aku berhenti bermain piano. Sudah, jangan ikuti aku.”
Sofia bangkit dari tempat duduknya berniat meninggalkan kantin termasuk Bryan di dalamnya. Bahkan makanannya belum habis. Ia telah muak dengan lelaki cerewet itu.
Hari demi hari, Bryan terus meminta bantuan Sofia untuk mengajarinya bermain piano. Di manapun Sofia, Bryan selalu berhasil menemukannya. Akhirnya dengan terpaksa Sofia menerima permintaan Bryan.
Hari demi hari pula Sofia melatih Bryan bermain piano. Sofia cukup kagum pada Bryan yang tak pernah menyentuh piano tetapi kemampuannya bermain piano meningkat drastis. Itulah alasan mengapa ia menyetujui Bryan sebagai pasangannya dalam perlombaan piano di Jakarta minggu depan.
“Bisa tidak kita istirahat dulu?” keluh Bryan.
“Hei, jangan malas-malasan jika kau ingin menang!” teriak Sofia.
“Hei, aku ini kelelahan!” balas Bryan.
“Tidak boleh istirahat sampai kau bisa menyelesaikan ini!”
Terpaksa Bryan harus menuruti perintah gadis galak di depannya itu. Meskipun terkadang Sofia menakutkan, tetapi Bryan tetap mengaguminya. Kemampuannya bermain piano dalam keadaan buta tetap sama seperti sebelumnya. Oleh karena itu, Bryan ingin agar Sofia tetap bermain piano. Caranya dengan memenangkan perlombaan piano berpasangan ini.
6.
Koda
 Sofia terlihat kesal berdiri menunggu Bryan di lorong gedung perlombaan. Padahal giliran mereka tampil sebentar lagi.
“Terima kasih sudah menungguku. Ayo!” ucap Bryan.
“Kau ini laki-laki atau perempuan sih?! Lama sekali!” gerutu Sofia.
Tirai panggung akan segera dibuka dalam hitungan detik. Kini Bryan dan Sofia telah menempati posisi mereka masing-masing.
“Kita pasti bisa memenangkan perlombaan ini!” ujar Bryan. Sofia tersenyum menanggapinya.
Seketika tirai panggung terbuka. Suara riuh penonton bergemuruh di telinga mereka. Sofia membuka permainan dengan nada lembut dilanjutkan Bryan dengan tempo lebih cepat lalu disusul dengan permainan kolaborasi antara Sofia dan Bryan.
“Benar-benar penampilan yang sangat memukau. Kalian hebat!” ucap salah satu peserta lomba.
“Terima kasih,” balas Sofia dan Bryan berbarengan.
Dan akhirnya Sofia dan Bryan memenangkan perlombaan piano itu. Mereka menyambut piala dengan senyum bahagia. Dan untuk pertama kalinya juga Sofia dapat merasakan kebahagian.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contoh Teks Pewara / Pranatacara dalam Bahasa Jawa

Tugas SBK : Contoh Nirmana Titik, Garis, Bidang, Gempal, dan Tekstur

Tugas Bahasa Indonesia Memahami Struktur dan Kaidah Kebahasaan Teks Opini/Editorial “Menjual Sembari Menjaga Nirwana"