Tugas Bahasa Indonesia Mengevaluasi dan Membandingkan Teks



Tugas 1
Mengevaluasi Teks “Belajar Ikhlas dari ‘Hafalan Shalat Delisa’”

(1)     Setelah kalian membaca teks ulasan “Belajar Ikhlas dari ‘Hafalan Shalat Delisa’” tersebut, cobalah kalian diskusikan beberapa hal berikut.
(a)    Pernahkah kalian menonton film “Hafalan Shalat Delisa” itu?
·      Pernah
(b)   Bagi yang pernah menonton, apa pendapat kalian tentang pernyataan penulis teks ulasan berikut: —jangan bandingkan dengan teknologi 3D film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut—?
·      Menurut kami, memang benar jika peristiwa tsunami pada film “Hafalan Shalat Delisa” tidak nampak nyata karena Indonesia belum ahli dalam teknologi 3D
(c)    Peristiwa apa yang tergambar pada teks ulasan film tersebut? Coba kalian ceritakan.
·       Peristiwa yang tergambar pada teks ulasan film tersebut adalah peristiwa yang menyedihkan, karena setelah tsunami menghantam perkampungan membuat Delisa kehilangan semuanya, yaitu keluarga dan rumah. Selain itu delisa mengalami penyiksaan fisik, yakni kaki Delisa yang diamputasi. Dari akhir kejadian tersebut delisa kini tinggal bersama abinya.
(d)   Setelah peristiwa tsunami itu terjadi, apa yang dialami Delisa kemudian?
·       Setelah peristiwa tsunami mereda, Delisa diselamatkan seorang tentara A.S  bernama Smith, namun kaki delisa harus diamputasi. Delisa juga dikenalkan dengan Sophie, relawan yang merasa simpati terhadapnya. Dia sudah mengetahui bahwa umi, dan ketiga kakaknya telah pergi, yang digambarkan melalui surealis melintasi sebuah gerbang di lepas pantai menuju negri dengan masjid yang indah. Namun keberadaan uminya masih misterius. Melihat keadaan delisa, Smith ingin mengadopsi delisa, namun terlebih dahulu delisa sudah dijemput abinya.
(e)    Coba kalian ceritakan apa saja yang diulas penulis teks itu.
1.     Saat terjadi tsunami di pantai aceh pada tanggal 26 desember 2004, bersamaan ketika Delisa menjalankan praktik salat di ruang sekolah di Lhok Nga dan disaksikan ustaz Rahman dan ustazah Nur serta umi Delisa dan ibu lainnya. Namun hal itu tidak berpengaruh terhadap delisa, dia tetap focus pada salatnya walaupun umi Delisa berteriak dengan panic memanggil Delisa.
2.     Sebelum terjadinya tsunami, teks tersebut memaparkan bahwa delisa tinggal bersama umi dan ketiga kakaknya (Fatimah,Aisyah,Zahra). Abinya bekerja disebuah kapal tanker asing nun yang jauh dari tempat tinggal mereka. Delisa digambarkan sulit melakukan hafalan salat dan susah dibangunkan saat salat shubuh. Uminya sampai menjanjikan akan memberikan sebuah kalung emas berinisial “D” jika dia lulus ujian Pratik salat.
3.     Setelah tsunami mereda, Delisa diselamatkan seorang tentara A.S bernama Smith, namun kaki delisa harus diamputasi. Delisa juga dikenalkan dengan Sophie, relawan yang merasa simpati terhadapnya. Dia sudah mengetahui bahwa umi, dan ketiga kakaknya telah pergi, yang digambarkan melalui surealis melintasi sebuah gerbang di lepas pantai menuju negri dengan masjid yang indah. Namun keberadaan uminya masih misterius. Melihat keadaan delisa, Smith ingin mengadopsi delisa, namun terlebih dahulu delisa sudah dijemput abinya.
4.     Dengan keadaan fisik delisa yang memperhatinkan, namun dia masih saja memberi semangat pada temannya umam dan ustaz rahman yang hamper patah semangat. Delisa juga masih ingin bermain bola walaupun keadaan fisik dan batinnya sedang memburuk.
5.     Setelah Delisa kembali kepelukan abinya, abinya mencoba membuat rumah dan membuat nasi goring untuk Delisa, namun Delisa beranggapan bahwa masakkan abinya tidak selezat masakkan uminya. Kemudian Koh Acan menawarkan dan membuatkan bakmi kesukaan Delisa.
6.     Di akhir  cerita, keberadaan umi Delisa masih misterius, apakah uminya selamat atau setidaknya dapat ditemukan tubuhnya. Namun apapun yang dialami delisa, dia tetap menjadi pribadi yang ikhlas. Dia juga bertekat untuk menyelesaikan hafalan salat bukan karena kalung tetapi karena ingin salat yang benar.

(2)     Pada teks ulasan “Belajar Ikhlas dari ‘Hafalan Shalat Delisa’” tersebut terdapat beberapa kata yang tidak baku. Cobalah kalian temukan kata-kata itu dengan membaca secara teliti sekali lagi teks yang dimaksud. Setelah itu, kelompokkan kata yang dimaksud ke dalam kolom yang seharusnya. Untuk itu, kalian bisa menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
No
Kata
Baku
Tidak Baku
1
Shalat
Salat
Salat
Shalat
2
Ustaz
Ustad
Ustaz
Ustad
3
Doa
Do’a
Doa
Do’a
4
Risiko
Resiko
Risiko
Resiko
5
Tangker
Tanker
Tanker
Tangker
6
Praktik
Praktik
Praktik
Praktik
7
Masjid
Mesjid
Masjid
Masjid
8
Kamp
Kemp
Kamp
Kemp
9
Iklas
Ikhlas
Ikhlas
Iklas
10
Khusyuk
Khusyu
Khusyuk
Khusu

(3)     Sasaran kalian untuk menghasilkan teks ulasan pada pelajaran ini adalah seni pertunjukan, yaitu film dan drama. Untuk itu, dibutuhkan penginderaan yang baik. Penginderaan yang paling hakiki terhadap pertunjukan itu adalah: pertama, bidang visual menyangkut kemampuan mata yaitu melihat; dan kedua, bidang audio menyangkut kemampuan telinga yaitu mendengar. Menurut Alif Danya Munsi, corak seperti apa yang ada dalam pikiran dan perasaan kalian yang mesti dibuat kritiknya ditentukan oleh indera tiap kritikus. Ada empat corak dalam menulis kritik tersebut. Pertama, corak kritik apresiasi, meliputi dua ciri: individual yang semata-mata merupakan ekspresi tunggal mewakili kemauan kalian untuk menyatakan segi positif dari pertunjukan yang disaksikan; serta sosial yang mewakili pandangan objektif dengan menyertakan atau mencatat bagaimana respons masyarakat dalam  menyaksikan pertunjukan tersebut. Kedua, corak kritik eksposisi merupakan ulasan tentang film dan drama berdasarkan bagan-bagan yang membangun film atau drama tersebut. Dalam ulasan eksposisi ini, kalian menulis kritik dengan jalan keluar. Artinya, kalian bertanggung jawab dengan kritik yang kalian buat. Ketiga, corak kritik evaluasi berangkat dari cara memindai kerangka cerita, premis, dan tema, lalu bagaimana sutradara menafsirkannya melalui gambar. Dan keempat, corak kritik prevalensi, berupa ulasan yag merata, umum, luas, dengan ukuran perbandingan yang ideal atas tontonan-tontonan lain yang yang pernah ada. Ulasan ini dimulai dengan menyebut sesuatu sebagai ukuran ideal, dan diakhiri dengan harapan-harapan.
Dengan demikian, menurut kalian, teks yang mengulas film “Hafalan Shalat Delisa”di atas termasuk corak kritik yang mana? Coba jelaskan alasan kalian.
·      Menurut saya, ulasan “Hafalan Shalat Delisa di atas termasuk corak kritik evaluasi. Corak kritik evaluasi berangkat dari cara memindai kerangka cerita, premis, dan tema, lalu bagaimana sutradara menafsirkannya melalui gambar. Dalam ulasan tersebut, penulis lebih banyak menjelaskan kembali bagaimana kerangka cerita tersebut, seperti klimaks serta keadaan awal dan akhir dari film tersebut. Penulis juga menarik kesimpulan dari pernyataan (premis) bukti keikhlasan Delisa yaitu dia tetap tegar walaupun bertahan dengan satu kaki, dan beberapa scene-scene dari interaksi tokoh lain dengan Delisa yang menghidupkan suasana. Jadi, kesimpulannya film ini akan sangat cocok jika diputar untuk menyambut peringatan tsunami dan hari ibu.
Selain itu,penulis juga mengulas scene tsunami yang tidak dapat dibandingkan dengan teknologi 3D film Amerika sebagai tafsiran dari film ini.

Tugas 2
Membandingkan Teks “Gara-Gara Kemben, Film ‘Gending Sriwijaya’ Diprotes Budayawan”, dan Teks “’Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”

TEKS “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Pertanyaan itu belum terjawab
(a)      Teks di atas mengulas sebuah drama berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Sebelum penulis teks masuk pada bagian orientasi, terdapat dialog antara tokoh Ibu dan Bapak. Apa yang mereka bicarakan?
Dialog tersebut membicarakan tentang kebencian sekaligus kemarahan Ibu dan Bapak terhadap kekejaman penguasa politik yang telah menculik anaknya yaitu Satria, tanpa adanya  alasan yang jelas. Mereka terheran, tidakkah pernah penculik tersebut dilahirkan oleh seorang ibu, sehingga mereka tidak mengenal rasa kasih sayang dan kelembutan.
(b)     Ada berapa paragrafkah orientasi yang terlihat pada teks tersebut?
Tiga paragraph, yaitu paragraf 1, 2, dan 3. Karena pada paragraf tersebut menjelaskan tentang perkenalan atau gambaran umum dan terdapat nama tokoh, lokasi pementasan, durasi, pemroduksi drama, serta tata artistik pada drama. Sedangkan pada paragraph selanjutnya sudah mulai menjelaskan tentang isi dari drama itu sendiri.
(c)      Apa tema yang diangkat dalam drama yang ditulis dan disutradarai Seno Gumira Ajidarma ini?
Tema yang diangkat dalam drama tersebut adalah politik. Dalam drama tersebut bercerita mengenai keadaan politik dan peristiwa kekerasan yang terjadi pada tahun 1965 dan seterusnya dimana tidak adanya kejelasan dan hentinya hingga akhir-akhir ini, politik Negara yang carut-marut.
(d)     Mengapa banyak mata penonton yang berkaca-kaca setelah menyaksikan pementasan drama tersebut?
Banyak mata penonton yang berkaca-kaca setelah menyaksikan pementasan tersebut karena para tokoh telah membawakan drama dengan piawai, yaitu Niniek dan Simatupang sebagai Ibu dan Bapak. Serta tidak ketinggalan penata musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah menambah nilai  tambah pada naskah tersebut. Hal ini masih didukung adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria tiba-tiba muncul di panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak, setiap saat menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup di republik ini.
(e)      Termasuk corak apa teks ulasan di atas? Mengapa?
Teks ulasan di atas termasuk corak kritik apresiasi, karena dalam teks ini mewakili kritik individual dan kritik sosial.
Kritik individual semata-mata merupakan ekspresi tunggal mewakili kemauan penulis untuk menyatakan segi positif dari pertunjukan yang disaksikan. Hal ini dapat dilihat pada paragraph 6 yang tertulis segi positif, yakni drama ini berlatarkan situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan korbannya, drama ini menemukan relevansi sosialnya. Kemudian drama ini seperti berada di wilayah “kesenian kontemporer” dengan sifat khasnya. Apa yang dialami oleh tokoh Bapak dan Ibu juga masih menawarkan cerita pengalaman sehari-hari orangtua yang kehilangan anak-anaknya.
Kritik sosial mewakili pandangan objektif dengan menyertakan atau mencatat bagaimana respons masyarakat dalam menyaksikan pertunjukan tersebut. Respon masyarakat setelah menyaksikan pertunjukan ini  dijelaskan pada paragraf 9. Masyarakat menjadi berkaca-kaca ketika keluar dari gedung pertunjukan karena hati mereka teriris oleh kepiawaian tokoh-tokoh yang membawakannya.

TEKS Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya” Diprotes Budayawan
(a)      Disebutkan oleh penulis teks ulasan “Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya” Diprotes Budayawan”, Ilm, bahwa film “Gending Sriwijaya” ini menuai kontroversi. Mengapa?
Film Gending Sriwijaya ini menuai kontroversi karena alur cerita (plot) film menurut sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film tersebut juga dianggap keliru.
(b)     Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, mengatakan film ini bisa menimbulkan pembiasan sejarah. Apa maksudnya?
Pembiasan sejarah maksudnya adalah penceritaan sejarah dalam film ini terjadi sebuah penyimpangan dari cerita sejarah yang sebenarnya, bahkan menurut Budayawan, Nurhadi, kisah yang diceritakan terkesan mengada-ada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat disalahartikan dan dapat menimbulkan salah pemahaman. Sementara, penyimpangan ini menyebabkan penonton menerima cerita yang tidak sesuai dengan kenyataan sementara mereka tidak mengetahui apa cerita yang sebenarnya terjadi.
(c)      Tahukah kalian kebenaran sejarah yang melatarbelakangi kehancuran Kerajaan Sriwijaya?
Dalam teks, menurut Nurhadi, kehancuran Kerajaan Sriwijaya terjadi karena ada serangan dari luar kerajaan.  Menurut sumber dari internet, kehancuran Kerajaan Sriwijaya disebabkan oleh diantaranya 5 faktor, yaitu tidak adanya raja yang cakap memerintah, letak Kota Palembang semakin jauh dari laut, berkurangnya kapal dagang yang singgah, banyak daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya, dan terjadinya serangan atas Sriwijaya dari kerajaan lain.
(d)     Apa pula maksud kemben yang disebut-sebut dalam teks ulasan tersebut?
Maksud kemben dalam teks ulasan tersebut tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. Kemben adalah pakaian tradisional seperti jarik yang digunakan sampai ke bagian dada. Menurut Erwin, budayawan, Kemben yang digunakan dalam film tersebut bukan pakaian masyarakat ketika itu. Pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi.
(e)      Termasuk corak apakah teks ulasan di atas? Mengapa?
Teks ulasan tersebut termasuk corak kritik eksposisi, yaitu ulasan tentang film dan drama berdasarkan bagan-bagan yang membangun film atau drama tersebut. Dalam ulasan eksposisi ini, penulis menulis kritik dengan jalan keluar. Artinya, penulis bertanggung jawab dengan kritik yang dibuatnya.
Dalam hal ini, teks ulasan tersebut membahas tentang dua bagan film yang dianggap keliru oleh sejumlah budayawan dan peneliti sejarah, yaitu alur cerita (plot) yang menyimpang dari sejarah kerajaan Sriwijaya dan juga pakaian songket dan kemben bintang film. Jalan keluar yang dikemukakan dalam teks ini adalah bahwa film ini harus direvisi sebelum ditayangkan. Penulis mewakili para budayawan yang berpendapat, juga bertanggungjawab terhadap kritik yang dibuat, terbukti dengan pernyataan Nurhadi, “Saya berani pasang leher untuk menentang film ini”. Hal ini menunjukkan bahwa kritik tersebut didukung oleh fakta-fakta yang kuat untuk mengulas film Gending Sriwijaya.
(1)     Dengan menulis ulasan film dan drama secara kritis, kalian memperoleh pengalaman atas dua hal, yaitu melatih ketangkasan nalar hingga kesanggupan berpikir logis dan melatih kepekaan sukma hingga sanggup berpikiran estetis. Selanjutnya, setelah membaca ketiga teks ulasan di depan, apakah kalian menemukan perbedaan struktur teks ketiganya? Coba kalian ceritakan bagaimana tiap penulis mengurai ulasannya hingga terbangun teks yang ada tersebut!
No.
Struktur Teks:
“Belajar Ikhlas dari ‘Hafalan Shalat Delisa”
1.
Orientasi 1 terletak pada paragraph pertama. Dalam paragraf ini, penulis memulai ulasan dengan memperkenalkan tragedi utama dalam film ini. Paragraf ini menjelaskan saat-saat terjadinya tsunami di Aceh, Delisa sedang menjalankan praktik shalat di depan ustadnya dan disaksikan pula oleh ibunya. Namun, air bah yang datang tidak menghentikan hafalannya.
Orientasi 2 terletak pada paragraph kedua. Dalam paragraph ini, penulis berpendapat bahwa film ini tidak boleh dibandingkan dari kekurangannya saja. Walau scene untuk mendeskripsikan tsunami tidak begitu baik, film ini mengingatkan kembali tentang hikmah bersyukur dari bencana tsunami Aceh yang menewaskan ratusan ribu jiwa.
2.
Pada tafsiran isi 1 (paragraph 3), menjelaskan pembukaan film yang manis, dengan kehidupan dan kebiasaan Delisa bersama Ummi dan ketiga kakaknya. Pada tafsiran isi 2 (paragraf 4), dijelaskan keadaan setelah tsunami yaitu pertemuan Delisa dengan seorang ranger yang ingin menjadikannya anak. Tetapi, ayah Delisa datang dan mencoba membangun hidupnya kembali sebagai single parent. Pada tafsiran isi 3 (paragraf 5), penulis mengutarakan, film ini tidak terjebak dalam melodrama, artinya ketika film ini mecoba ada sentuhan kesedihan dari tokoh Delisa, tetapi hidup Delisa tetap berjalan dengan keadaan kaki satunya. Pada tafsiran isi 4 (paragraf 6) dan tafsiran isi 5 (paragraf 7), penulis mengutarakan kekagumannya terhadap film ini. Diantaranya akting Chantiq yang memukau dan adegan tokoh lain yang menghidupkan suasana.
3.
Pada tahap evaluasi (paragraph 8), dijelaskan tentang ending film ini. Cerita lebih mengarah kepada tanda tanya bagaimana keadaan Ummi, serta digambarkan tokoh Delisa yang ikhlas tanpa pengharapan imbalan untuk menyelesaikan hafalan shalatnya.
4.
Pada tahap rangkuman (paragraph 9), penulis mengatakan film Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye yang mengandung pelajaran tentang keikhlasan ini sangat cocok diputar untuk hari peringatan tsunami dan hari ibu.

No.
Struktur Teks:
“Gara-Gara Kemben, Film ‘Gending Sriwijaya’ Diprotes Budayawan”
1.
Pada tahap orientasi 1 (paragraf 1), penulis menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi pada film ini, sehingga menimbulkan kontroversi diantara sejumlah budayawan dan peneliti sejarah.
Orientasi 2 (paragraph 2), penulis menjelaskan siapa saja yang berperan dalam penggarapan film ini seperti Hanung Bramantyo yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Paragraf ini juga menyebutkan dana APBD yang dipergunakan
2.
Tafsiran isi 1 (paragraph 3), penulis menuliskan pendapat bernama Nurhadi yang menilai kelemahan film ini yang terletak pada pertentangan dan perebutan tahta.
Tafsiran isi 2 (paragraph 4), penulis menjelaskan pendapat Nurhadi yang berani protes lebih keras bahwa sebenarnya pertentangan dan kehancuran kerajaan terjadi karena faktor eksternal.
Tafsiran isi 3 (paragraph 5), penulis menjelaskan pendapat pendukung lain dari Nurhadi yaitu kisahnya terkesan mengada-ada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya
3.
Tahap Evaluasi (paragraph 6), penulis memberikan pendapat Erwin yang mengatakan film ini tidak didukung riset yang cukup. Kekeliruannya terletak pada kostum yang dikenakan para pemain.
4.
Rangkuman (paragraph 7), penulis menjelaskan, Erwin juga sependapat dengan Nurhadi yang mempertanyakan perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan.
No.
Struktur Teks:
“Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
1.
Sebelum masuk ke tahap orientasi, penulis menyisipkan penggalan dialog antara tokh Ibu dan Bapak sebagai gambaran umum. Pada tahap orientasi 1, 2, dan 3 (paragraf 1,2,3), penulis lebih mengenalkan sedikit bagaimana respon para penonton setelah menyaksikan drama tersebut. Selain itu, juga dijelaskan siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan drama ini, serta kapan dan dimana drama ini dipentaskan.
2.
Pada tafsiran isi 1 (paragraph 4), menjelaskan sumber inspirasi dari cerita tersebut, serta obrolan pembuka tokoh. Pada tafsiran isi 2 (paragraph 5), menjelaskan pendapat tokoh tentang pembagian obrolan menjadi dua fase, fase tindakan tentara dan fase kehidupan Ibu-Bapak dan Satria. Pada tafsiran isi 3 (paragraph 6), menjelaskan pandangan penulis bahwa drama ini berlatar belakang situasi politik saat ini dan memiliki sifat kesenian kotemporer. Tafsiran isi 4 (paragraph 7), menjelaskan Seno Gumira, penulis cerpen drama ini, yang mengatakan drama ini adalah sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya. Tafsiran isi 5 (paragraph 8), menjelaskan bahwa naskah dan strategi pementasan mungkin penulis dan sutradara tidak langsung memparadigmakan.
3.
Tahap evaluasi (paragraph 9), menjelaskan para pendukung drama seperti tokoh, penata musik, yang berhasil mengeksekusi naskah dengan baik, sehingga berhasil membuat hati banyak orang teriris.
4.
Tahap rangkuman (paragraph 10), mengarah kepada akhir dari drama ini. Ibu mengharapkan keselamatan satria, dan Bapak mengajukan pertanyaan “Mengapa kau culik anak kami?”







Tugas 3
Mengevaluasi dan Menyunting Teks “Guyonan Bersama Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’”

(1)     Teks ulasan yang ditulis oleh Dwi Klik Santosa di atas menggambarkan sebuah pementasan karya Goenawan Mohamad yang diadaptasi dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. Menurut kalian, apakah teks tersebut sudah termasuk sebuah teks ulasan yang ideal? Ideal yang dimaksudkan di sini adalah sesuai dengan strutur teks yang ada dan menggunakan kaidah kebahasaan, termasuk penerapan kaidah ejaan. Diskusikanlah struktur teks ulasan tersebut dengan kelompok yang telah dibentuk sebelumnya. Diskusikan bagaimana penulis menyampaikan pokok pikirannya dalam mengulas pementasan tersebut sehingga terbentuk struktur teks yang berisi orientasi^tafsiran isi^evaluasi^rangkuman. Setelah itu, tulislah hasil diskusi kalian pada kolom yang tersedia berikut ini.
Menurut kami, teks tersebut belum termasuk teks ulasan yang ideal. Struktur teks tersebut sudah tepat berbeda dengan kaidah kebahasaannya yang masih banyak terdapat pemubaziran kata atau menggunakan kata secara berlebihan. Padahal kehadiran kata tersebut tidak diperlukan sehingga jika dihilangkan tidak akan mengganggu informasi yang disampaikan. Selain itu, juga terdapat banyak kekeliruan dalam penggunaan bahasa seperti kata-kata asing yang belum ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta kata-kata yang sulit dimengerti.
No.
Struktur Teks:
“Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’”
1.
Orientasi:
1.     “Gundala Gawat” karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) diadaptasi dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap ini adalah karya guyonan belaka. “Sesekali kita boleh to, merenungkan sesuatu dengan cara yang guyonan,” kata GM, “semua terserah pada pencernaan penonton.” Seperti diakui oleh si seniman dari Njogja yang kondang karena karakternya yang unik dan kuat meniru berbagai logat dan karakter pengucapan tokohtokoh nomer satu Indonesia, bahwa, ”Pementasan naskah ini oleh Teater Gandrik adalah sebuah tawaran bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai sebuah esensi,” kata Butet Kartaredjasa, “apakah guyonan ala kami sama dengan guyonan gaya OVJ.”
2.     Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik itu, terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa pementasan itu di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013.93 Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah menyaksikannya. Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memberikan nilai plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang antusias menikmati suguhan seni ala nJogja itu.
2.
Tafsiran isi:
3.     Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. Namun toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih menekankan pada tajuk ”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan sebagai teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja terutama plesetannya adalah ”kewajiban”. Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya memberikan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama kelompok koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak laku.”
4.     Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki, aktor kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980—1990-an, ketika saya mintai pendapat, hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis pikir, GM, membuat adaptasi naskah teater yang seperti itu,” katanya.
5.     Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya. Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya. Sehingga agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis oleh seorang GM.”
6.     Almarhum Rendra memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah pendapatnya, ”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut ke dalam semangat pertunjukan.”

3.

Evaluasi:
7.     Menyaksikan secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala Gawat” dari sejak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan mensinergikan dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra dalam kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan perannya sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi dimunculkan dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang saling sinambung dan terjaga. Dari abstraksi, klimaks dan anti klimaks, cukup mengalir memberikan tanya yang berjawab bagi benak segenap penonton.
8.     Naik turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi dengan gaya sampakan atau akting semau gua yang akhirnya menjadi ciri khas para ”gandriker” yang sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan spontanitas yang kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang selalu menjadi ciri mereka dan ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk menghasilkan senyum dan bahkan tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun grup teater dari Njogja ini, absen dari perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa Murti, salah satu dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena sakit. Menjadikan pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik, kiranya, seperti ingin menunjukkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan terus hidup dan berpentas!”
9.     Hanya saja, saya melihat, bahwa, Susilo Nugroho, yang akrab dikenali sebagai si Den Baguse Ngarso dan menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan nampak kedodoran, berakting tidak seperti biasanya. Bagaimana pun, ialah aktor utama dalam pelakonan pentas itu. Jika semangatnya naik turun, pastilah berakibat bagi yang lain untuk naik turun. Seringkali ia melakukan hal yang fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam timing. Sehingga naskah yang semestinya lucu secara naskah, lantas tak menghasilkan senyum atau ketawa penonton, alias hambar-hambar saja. Begitupun, adegan yang semestinya dramatis. Menyepikan suasana untuk memberi nuansa tragis, atau sitegang sebagai gambaran tajamnya persoalan peristiwa, jadi naik turun pula maknanya dalam pencernaan penonton.
10. Untungnya ada Butet Kartaredjasa, seperti yang saya lihat bermain nyaris prima dan konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down untuk memberi nuansa dramatis pada ending pementasan. Sebagaimana karakternya yang kuat, yaitu bersuara besar dan serak, dan pandai mengatur tempo pengucapan, jelaslah ia jago orasi yang mumpuni. Sehingga pintar membetot sepenuhnya perhatian penonton. Hanya tertuju kepadanya, begitulah misteri panggung itu jika sudah jinak. Namun, kali itu, ia mengalami dilema, terlambat timing. Sehingga semestinya, kalimat terakhir yang menggelegar dan giris itu, ”Kalau saja para superhero tidak lagi gagah menyuarakan kebenaran. Titenono… sopo leno, tak petir ndasmu!” akan ikut pula memalu dan menggodam perasaan penonton. Dan menjadikan sepi ruang alam: alam panggung, alam Concert Hall, alam penonton, sesepi kuburan. Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi.
4.
Rangkuman:
11. Secara umum, saya melihat, para aktor cukup mumpuni memainkan perannya. Lucu, berisi dan kritis.Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini seperti bermakna guyonan belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan lain dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater95 Gandrik, terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan memberi cakrawala lain di hati dan benak pemirsa.

(2)     Dalam teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’” tersebut banyak terdapat kekeliruan dalam penggunaan kaidah kebahasaan. Banyak juga ditemukan pemubaziran penggunaan kata atau penulisan kalimat. Dalam bidang ilmu bahasa, kemubaziran, yang disebut juga dengan kelewahan” dimaknai sebagai penggunaan kata secara berlebih. Artinya, kehadiran kata itu sesungguhnya tidak diperlukan, yang jika dihilangkan pun tidak akan mengganggu informasi yang disampaikan. Contohnya adalah penggunaan kata bersinonim secara bersama-sama, seperti agar supaya, demi untuk, dan servis pelayanan.
No.
Kata/Kalimat yang Keliru atau Mubazir
Kata/Kalimat yang Benar
1.
Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu.
Harian Suara Merdeka, melalui tulisan Sony Wibisono, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu.
2.
Seringkali ia melakukan hal yang fatal.
Yaitu terlambat masuk ke dalam timing.
Seringkali ia melakukan hal yang fatal yaitu terlambat timing.
3.
Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah menyaksikannya.
Terdapat beragam tanggapan masyarakat setelah menyaksikannya.
4.
Dan sebagai teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja terutama plesetannya adalah ”kewajiban”.
Sebagai teater modern, Teater Gandrik mematuhi alur naskah, tapi dagelan Jogja terutama lawakannya adalah ”kewajiban”.
5.
Naik turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa.
Rasa penasaran penonton dimainkan dengan permainan cahaya yang bersinergi, jenaka, senyapnya permainan musik, dan animasi layar digital.
6.
Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memberikan nilai plus.
Muncul pula kritik dari beberapa media yang secara umum memberikan nilai baik.
7.
Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memberikan tanggapannya.
Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali pentas di luar negeri memberikan tanggapannya.
8.
Menyaksikan secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala Gawat” dari sejak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan mensinergikan dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra dalam kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan perannya sebagai sutradara.
Menyaksikan secara utuh pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala Gawat” sejak gladi resik hingga pementasan hari pertama dan kedua, saya mencerna apa yang dikatakan Rendra dalam kredonya, saya rasa Djaduk Ferianto cukup berhasil memainkan perannya sebagai sutradara.
9.
Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi dimunculkan dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang saling sinambung dan terjaga.
Ritme untuk menggarap dramaturgi dimunculkan dari pengolahan plot yang saling sinambung dan terjaga.
10.
Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi.
Akhirnya, sepi itu akan direnungkan menjadi bahan-bahan yang dapat diolah lagi.

(3)     Menurut kalian, termasuk corak kritik apakah teks ulasan di atas? Coba jelaskan.
Menurut kami, corak kritik pada teks ulasan di atas adalah corak kritik apresiasi. Karena penulis, Dwi Klik Santosa, menyampaikan pendapatnya berupa hal-hal positif terhadap pertunjukan Teater Gandrik. Dwi Klik Santoso sangat menghargai kerja keras sang sutradara, Djaduk Ferianto, dengan beranggapan bahwa peran Djaduk Ferianto cukup berhasil. Di samping itu, penulis juga menggambarkan bagaimana tanggapan masyarakat dan media yang mayoritas berupa hal-hal positif setelah menonton pertunjukan tersebut.

(4)     Setelah kalian menilai dan menyunting teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’dari berbagai sisi, baik struktur teks, kaidah kebahasaan, dan juga isi teks ulasan secara keseluruhan, tugas kalian berikutnya adalah menulis ulang kembali teks ulasan tersebut dengan mengunakan bahasa kalian sendiri. Buatlah sebuah teks ulasan yang ideal dengan menggunakan kaidah kebahasaan yang tepat. Bacalah teks yang kalian hasilkan itu sehingga teman-teman kalian dapat mendengarkan ulasan kalian. Mintalah tanggapan kepada mereka tentang isi dan bahasanya.

Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik “Gundala Gawat”
Dwi Klik Santosa

1.      Teater modern berjudul “Gundala Gawat” karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) ditampilkan oleh Teater Gandrik di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16-17 April 2013. Cerita tersebut teradaptasi dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. Pementasan tersebut mengandung sindiran terhadap kondisi Indonesia yaitu tentang kelompok koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak laku. Dalam pementasannya, Teater Gandrik mengikuti alur naskah, tetapi tidak menghilangkan dagelan Jogja atau lawakannya. Alhasil mereka tetap tampil sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa.
2.      Setelah pementasan berakhir, muncul beragam tanggapan dari masyarakat maupun media yang umumnya berupa nilai-nilai positif. Dalam Harian Suara Merdeka, melalui tulisan Sony Wibisono, review pementasan “Gundala Gawat” diberi judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’”. Begitu pula dengan Harian Jawa Pos yang memuat pementasan “Gundala Gawat” sebagai topik utamanya.
3.      Dwi Klik Santosa meminta pendapat tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh terkait dengan pementasan “Gundala Gawat”. Pertama, Untung Basuki, aktor kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980-1990 an, menyampaikan bahwa ia tak habis pikir GM membuat adaptasi naskah teater yang seperti itu. Kemudian, menurut Iwan Sudjono, seniman Jogja yang kerapkali pentas di luar negeri, alur cerita “Gundala Gawat” cukup mudah dipahami. Tetapi, terlalu banyak adegan konyol yang membuatnya tidak menyangka jika naskah tersebut ditulis oleh GM. Almarhum Rendra juga memberikan pendapatnya bahwa yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot.
4.      Dwi Klik Santosa menyaksikan secara utuh pementasan tersebut sejak gladi resik hingga pementasan hari pertama dan kedua. Ia merasa bahwa Djaduk Ferianto cukup berhasil menjadi sutradara karena pengolahan alur dalam cerita tersebut mampu memunculkan dramaturgi yang memuaskan penonton. Penonton juga dibuat lebih penasaran lagi dengan permainan cahaya, adegan jenaka, senyapnya permainan musik, dan animasi layar digital.
5.      Gaya sampakan atau akting semau gua berupa celotehan dan spontanitas yang kontekstual dengan alur menjadi ciri khas para ”gandriker” yang selalu ditunggu para fans beratnya. Apalagi sudah dua tahun grup teater ini absen dari perhelatan akibat ditinggal pergi Heru Kesawa Murti, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena sakit.
6.      Sayangnya, pada pementasan tersebut, Dwi Klik Santosa melihat bahwa Susilo Nugroho, yang dikenal sebagai si Den Baguse Ngarso, pemeran Gundala, tidak berakting seperti biasanya. Ia sering terlambat masuk timing sehingga adegan yang semestinya lucu menjadi hambar alias tidak membuat penonton tersenyum maupun tertawa. Begitu pula, dengan adegan yang semestinya dramatis menjadi naik turun maknanya dalam cernaan penonton.
7.      Untungnya ada Butet Kartaredjasa yang secara keseluruhan bermain prima dan konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia kurang baik dalam memberi nuansa dramatis saat akhir pementasan. Semestinya, kalimat terakhir yang berbunyi, “Kalau saja para superhero tidak lagi gagah menyuarakan kebenaran. Titenono… sopo leno, tak petir ndasmu!” memukau penonton dan membuat ruang alam menjadi sepi.
8.      Secara umum, para aktor “Gundala Gawat” cukup mumpuni dalam memainkan perannya yang lucu, berisi, dan kritis. Menurut Dwi Klik Santosa pernyataan GM bahwa pelakonan ini seperti bermakna guyonan belaka, ada benarnya. Akan tetapi, guyonan yang disampaikan TeatervGandrik berbeda dengan guyonan lainnya. Keseluruhan kinerja sang sutradara yang dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memberi kesan lain di hati pemirsa.

Comments

Popular posts from this blog

Tugas 1 Bahasa Indonesia Memahami Struktur dan Ciri Kebahasaan Teks Cerita Fiksi dalam Novel

Jawaban Uji Kompetensi Wulangan 5 Buku Paket Bahasa Jawa untuk Kelas 12 SMA

Contoh Teks Pewara / Pranatacara dalam Bahasa Jawa