Laporan Analisis Cerpen “Sulaiman Pergi Ke Tanjung Cina”



Tugas 1 Memahami Karakter Cerpen “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina”
           
(1)     Buatlah struktur teks cerita pendek “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina” di atas ke dalam kolom yang tersedia.
No.
Struktur Teks
Keterangan
1.
Abstrak
Definisi :
Abstrak merupakan ringkasan atau inti cerita yang akan dikembangkan menjadi rangkaian peristiwa di dalam cerpen. Tahapan ini bersifat opsional sehingga bisa saja suatu cerpen tidak melalui tahapan ini. Namun alangkah baiknya jika suatu cerpen memiliki tahap  ini.

Kalimat dalam teks :
Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulan satu kehidupan tajam yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kpi, bertiup perlahan memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit menuju ke arah laut, kearah pantai, ke arah Teluk Tanjung Cina. Di sanalah Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karang-karang yang menjorok runcing dan tegak menuju kearah perih laut Hindia, dri Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar, dan awan awan biru-semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus asa. Lautan asmara,nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian kepada tanah tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru diatas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindahan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan.
Ada merah api cinta yang semerbak di sana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai pelepai setelah dicipta berhari-hari. Begitu indah, dan selalu; delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut ke arah nukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke arah laut. Mencari temapat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu ia selalu akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu. Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku. Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
2.
Orientasi
Definisi :
Orientasi berisi pengenalan tokoh dan latar cerita yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerpen. Latar digunakan oleh pengarang untuk menghidupkan ceritanya sehingga lebih berkesan kepada pembaca. Selain itu tokoh dan penokohan juga mulai tergambar pada tahap ini. Biasanya penulis bercerita dengan detil di bagian ini.

Kalimat dalam teks :
            Setiap puncak Krakatau menyembul saat gelobang laut surut di pagi hari. Maka akan terliat ibuan waet terbang berputar putar mencari keangatan perpaduan kepudan dan matahari yang keangatan udaranya mungkin tidak akan pernah ditemukan dibenua manapun.lalu menjelang sepenggalah hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan bergerak cepat memintas selat menuju teluk lampu dan teluksemangka. Disanalah suga dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang. Dari rantai makanan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari, yang mencipta gairah untuk syarat berkembangbiak ratusan bahkan mungkin ribuan tahun tesedia secarra alamiah sepanjang hari. Seiring waktu bergeser, hingga senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergelombol berlesatan menuju pulau tabuan, menuju gelap sempurna. Lantas gerombolan hitam itu akan memecah diri menjadi keompok –kelompok kecil, dan bergerak bercericit menuju ke berbagai arah mata angin: kota agung,kalianda dan Bandar lampung. Dikota kota beraoma pantai itulah mereka menemukan sarang.istana tempat terlelap dimalam hari, yakni rumah rumah gelap, lembab dan nyaman,berupa gedung gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak berjendela.
          Hamparan ratusan kotak beton diseantero kota – kota itu, adalahjebakan cerdik yang dibikin oleh manusia untuk memindahkan mereka dari keidupan lepas pantai – pantai bekarang sepanjang bukit barisan pantai selatan. Sesungguhnyalah wallet adalah makhluk yang mencintai kenyamanan, kemudahan dan jalan pintas yang prakis.mereka tantu tidak diciptakan tuhan untuk berfikir tentang kebebasan. Maka bermigrasilah,setiap hari ratusan hingga ribuan walet memadati jebakan jebakan nyaman yang dibuat diburu. Diburu sarangnya ,yang elak diperjualbelikan sebagai bang ajaib dengan harga teramat tinggi
          Migrasi walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak tenilai, adalah juga berarti migrasi manusia (para pemburu walet) yang bergelombang dating dari berbagai pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota kemudian  terbentuk, menjadi Bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para pelancong yang akhirnya menetap kawin dan beranak pinak. Maka begitulah sejarah kedatangan zhu yang tiba pertamakali ke bandarr lampung dengan membawa pesona kecerdasan dan keuletan serta aroma kecantikan perempuan matang di usia remaja seorang anak saudaga besar dengan bakat cemerlang.
          Zhu mengawali sejarah dengan melakukan peerjalanan jauh dari pulaunya, kalimatan timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik kota berteluk hangat di selat sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah rahasia besar dihadapan ayahnya Zhu Miau Jung, “ Ada ratusaan ribu walet memadati puncak gunung tengah laut di selat sunda. Ada teluk diunjungtimur pulau sumatera yang memanjang dengan tebing tebing karang menuju deretan bukit barisan. Ada kota-kota bearoma pantai. Ada beberapa orang behasil membuat jebakan rumah bagi ribuan wallet yang malang!”
          Begitulah Zhu mulai sejarah dengan membuat jebakan dari seperti tanah yang ia beli dan membangunya menjadi istana wallet dengan keahlian ang tidak diragukan lagi. Dialah peremuan dengan aroma laut yang berpadu keindahan teratai. Dialah yang sejak lahir dididik sebagai pemburu wallet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar zhu pembuu wallet palingterkenal lantaran ketajaman instingnya.
          Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda bahwa hanya dialah yang bisa mengerti bahasa burung nyaris seluruh pedagang besar di nusantara timur percaya. Maka ketika berita keajaiban tentang selat sunda tiba, ia tertantang untuk mendoong putri satu satunya pergi. “bukan lantaran usiaku telah mulai tua bukan itu. Petuaangan untuk sebua penaklukan tak pernahmengenal umur tapi kau harus segera mendapatkan pilihan hidupmu. Pergilah Zhu kau sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap waletdan letakan dalam jumlahribuan didadamu untuk melanjutkaan nama besar ayahmu nama baik leluhurmu.
          Ada deraian hujan pada matanya sempit membuat setiap orang yang didampinginya tunduk dengan senang hati. Keramahan pada rambutnya panjang berkibar kesopanan pada kulit puyih seterang bulan, dan lesung pipi yang berkali membikin lelaki mabuklantaran rindu. Zhu Ni Xia menjaditerkenal sentereo mata angin.
          Dari Liwa hingga kota bumi bahkan orang orang Menggala seringkali singga untuk menukar pisang dang eta dammar, dengan beras dan gula.dari waktu menjadi Bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang : tempat menukar dammar menjadi gulaatau ratusan karung kopiditukar dengan kain gemercing mata uang. Kapal barang barang yang singgah selalu menjabat tangan zhu dengan hormat dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga Zhu. Selamat sejatera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”
3.
Komplikasi
Definisi :
Komplikasi berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Dalam komplikasi berbagai kerumitan bermunculan. Hal tersebut akan mengarah pada klimaks yaitu sebuah konflik yang mencapai tingkat intensitas tertinggi.

Kalimat dalam teks :
Akulah lelaki yang menantang angin dimalam ketika serentetan tembakanmenggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung,membakar atap dan dinding-dindingpuluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihanturun lewat langkah-langkah bergegas,dan teriakan kematian menggema padaladang-ladang kopi. Sayup di BalaiKampung sekumpulan lelaki memainkangamelan bambu cetik, dengan nadaputus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka menyatakan bahwamereka adalah sekelompok petani pribumiyang punya hak sama, dan tak sudiuntuk pergi.
Sejak sore hari, menjelang maghrib,tanda-tanda itu sudah dimulai. MadeSukari berlari menuruni bukit, sambilterus menunjuk ke arah lembah, “Celaka.Mereka betul-betul tengah bergerak!Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati, seminggusebelum kegawatan semakin memuncak,dan Made Sukari berlari memberi tandamenuruni bukit. Wajah-wajah pucat dangemetar menjalar, melewati ladang,kebun, dan rumah-rumah yang langsungsiaga.“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini pertandacelaka!”Dua gajah telah mati. Sebelumnya,empat ekor gajah ditemukan tanpanyawa dengan leher terbelah dan gadinglenyap meninggalkan dua bolongan kasardi kepala. Tak ada petani di Kualakambasyang tega membunuh makhluk raksasabermata lembut, Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di ladang, hanyadengan teriakan serta sapaan, “Pergilahmanis, hus, hus, pergilah dari ladangkami.” Antara gajah dan petani telahmemiliki tautan hati yang sama. Tak
perlu ada parang menempel, apalagisampai membelah leher.
Mereka akan pergi dengan langkahlamban, dan anak-anak seringkalimenyanyikan nyanyian gembira sebagaipengiring, “Pergilah wahai barisangendut, menuju hutan, bersama angin,menyongsong hujan….”
Tapi gajah-gajah itu telah terlanjurmati, dibunuh dengan keji. Dan gajahyang mati akan menuntut balas darinegara. Sudah terlalu lama kampung iniberurusan dengan negara. Bahkan 18tahun silam, ayahku terbunuh bersama200 petani kopi yang dianggapmembangkang, memberontak, hanyalantaran ia kukuh berkata: “Sudahberpuluh tahun kami berdiam di sini,sebelum kawasan hutan negaraditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan,tidak merusak hutan, dan tidak punyaniat menjarah hutan. Kami adalahpetani! Kami adalah pribumi, meskileluhur kami berasal dari berbagai pulaudan berbagai suku! Kami adalah….”
Akulah lelaki yang menantang angin dimalam ketika serentetan tembakanmenggema sepanjang malam. Akulahyang seringkali berkata kepada mereka,bahwa kematian gajah-gajah hanyalahalasan agar kami semua dianggapbersalah, dan berhak untuk dipaksapergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopidan ladang, untuk dikembalikan menjadihutan!” begitulah yang seringkalikudengar dari mulut ibuku saatmenceritakan bagaiamana ayahku mati.Maka tak perlu lagi bertanya tentangsiapa pembunuh gajah, kenapa gajahharus dibunuh. Demi Tuhan, ketika MadeSukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul di Balai Kampung lalumemainkan gamelan bambu cetik denganputus asa, ku sudah berkata: “Larilah keutan. Carilah jalan.”Tapi mereka bergening. Lalu suaratembakan, lalu asap pertama mengepul,lalu suara-suara jeritan, teriakan danentah-barangkali kematian. Gelap akumenerabas pepohonan, menyeret tangan. Nyiwar-ibuku. Berkelebat di pekat hutan,terus berlari, menerabas berhari-hari. Entah berapa waktu telah hilang digerusperih dan lapar, dan kesakitan. Hinggatiba di kampung yang entah, sebuahjalan raya, dan truk pengangkut karetmembawaku ke depan pintu gerbang ini.“Tolong bukakan gerbang. Katakan padaNona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidaksedang membawa barang. Saya harusketemu Nona Zhu.”
4.
Evaluasi
Definisi :
Berbagai konflik yang ada di komplikasi akan mengarah pada klimaks. Klimaks ini merupakan keadaan yang mempertemukan berbagai konflik dan menentukan bagaimana konflik tersebut diselesaikan. Diperlukan evaluasi untuk memecahkan suatu konflik sehingga mulai tampak penyelesaiannya.

Kalimat dalam teks :
Sulaiman, dan berpuluhan lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat sesosok  lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggengam bungkusan kain-yang jelas pastilah bukan biji kopi- dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “ cepat masuk!”
Mohon maaf,Nona Zhu, ini ibu saya,”sulaiman memperkenalkan Nyiwar. “saya tidak membawa…”
Sutinaaa,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap sulaiman, “kalian belum makan berhari-hari? Demi tuhan,aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di kualakambas. Hampir semua supir menceritakan isu-isu simpang siur. Astaga.”
Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “ segera siapkan makanan!” Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “ setiappetugas yang dating memeriksa gudangku, selalu aku kataka, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari perkampungan yang masuk kawasan hutan Negara. Tapi kau tahu, sulaiman, bertahun-tahun aku tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang salah dari negeri  ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku mendapat penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan Negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman? Sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah menyiapakannya. Setelah itu, pergilah…. Demi tuhan, sulaiman, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak bisa menawarkan kalian untuk tinggal.”
Saya memang tidak tahu dimana saya harus tinggal,Nona. Saya datang ke sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nons. Tentu say tidak akan lagi merepotkan….”
Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
[….]
Selalu ia berkata:”belum saatnya engkau mengerti,Zhu. Tetap tinggallah di kamar. Jangan keluar rumah.jagan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak orang dirumah ini. Engkau mengerti?”
Dan ia hanya mengangguk.dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.
Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua, menjadi perlarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang itu dari jauh, dari sebrang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam. Demi tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri tegak diantara  para perlarian, meskipun penuh resiko.
Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tipis itulah barang yang bisa kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke jawa.delapan belas kain tipis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa bertahun-tahun,” begitulah sulaiaman berkata.
Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati perih.
5.
Resolusi
Definisi :
Resolusi merupakan penyelesaian dari konflik yang terjadi di dalam cerpen.

Kalimat dalam teks :
Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tipis buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan getaran dasyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari silangan benang emas dan benang perak, liukan-liukan garis yang menyerupai api, cinta, dendam serta gambar-gambar dekoratifdalam olahan lambang daun, tanah, laut dan langit, telah menuntunnya untuk mengaca pada dirinya,serta hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta yang tertahan rindu dan kehilangna, alangkah ganas dendam yang terekam dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa telanjang dan malu. Betapa ia malu.
Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.
“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan. Susuri desa dan jalan pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam! Kalian paham? Bawa mereka ke sini, bawalah mereka....”
Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar. Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kain tapis.
Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
“Mereka sudah ada di depan, Nona.”
Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidah sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah disini.
“Terima kasih Nona, tapi kenapa?” Sulaiman menyela.
Ia merasa heran.
“Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini aku siap dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafka keputusanku yang terburu-buru kemarin. Tinggallah disini.Betapa Zhu ingin terus memeluk Nyiwar, melihat kedalaman matanya, merasa kerut tangannya, dan melihat ada apakahdi balik tubuh ringkihyang sesungguhnya teramat perkasa ini? Darimana datangnya kehalusan jiwasehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan keindahan, kobaran cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus asa, lewat tarian Sulaiman kain tipis yang begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin merengkuhkan seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil “Ibu”.
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman, duduk berdua, melihat laut melewati bulan.
“Bulatan cahaya bulan, bunga kopi, dan warna laut di atas kain tapis, seperti hamparan tanah, Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona genggam sekepal tanah, rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna, semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar....”
Nyiwar akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.
Kadang tentang masa kecil Sulaiman. Tentang penembakan. Tentang air mata yang mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang air hujan. Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.
“Jadi Ibu membesarkan Sulaiman sendiri?”
“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua, semua, semuaadalah keringat kami. Dan juga doa.”
Nyiwar kadang terkekeh saat menceritakan Sulaiman.
“Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani. Menyelundupkan biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, sebagai upaya agar para petani bisa bertahan di tengah berbagai ancaman. Ia seprti ayahnya, tak bisa melihat orang lain menderita. Kau tahu Nona ia melihat dengan kepala sendiri saat  ayahnya di tembak mati “
Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti, maka cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang dari kejauhan kamar tempat lelaki itu membuka jendela. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana angin yang bertiup dari kamar Sulaiman adalah tiupan harum seribu bunga. Ia jatuh cinta. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data mencari bukti-bukti. Akhinya Sualiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.
6.
Koda
Definisi :
Koda disebut juga reorientasi merupakan akhir cerita di dalam cerpen yang berisi nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik oleh pembaca. Koda bersifat opsional yaitu boleh ada boleh juga tidak.

Kalimat dalam teks :
Zhu Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada malam ketika kapal barang singgah di bandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.
“Aku telah menemukan lelaki, Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya. Datanglah segera, untuk menjadi wali bagi putrimu tercinta.”
Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
“Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan berganti.
Ketika madu tumpah di lautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar—perempuan lembut sekokoh karang—dan ia resmi memanggil Abang kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada parasnya yang jelita.
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung. Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.
Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita, membakar gudang dan memporak porandakan segala.
Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakan dipagi buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penuh cinta.

(2) Sekalipun ada peristiwa monologis dan dialogis sebagai peristiwa pembangun cerita, tetapi hakikatnya peristiwa itu menunjukkan karakter yang sama, yaitu peristiwa sebagai pembangun cerpen selalu terbentuk atas tokoh, latar, dan alur. Ketiganya adalah pembangun cerita yang konkret atau disebut juga fakta. Fakta yang konkret ini secara eksplisit membangun cerpen ataupun fiksi lainnya sehingga ketiganya disebut sebagai fakta cerita. Melalui fakta cerita itulah tema, pesan, amanat, tujuan, suasana, dan sudut pandang diaktualisasikan. Oleh karena itu, belajar menulis cerpen harus diawali dengan pemahaman fakta cerita ini. Ketiga unsur itu dijalin menjadi satu kesatuan peristiwa yang indah, menghibur, dan memiliki konflik yang menarik.
(a)  Tokoh dalam cerita merujuk pada “orang” atau “individu” yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita, yaitu orang atau individu yang mengaktualisasikan ide-ide penulis. Lewat tokoh itulah penulis menyampaikan gagasannya. Agar kalian lebih memahami tokoh danpenokohan itu, identifikasilah tokoh yang terdapat dalam cerpen “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina” itu, lalu deskripsikanlah tokoh itu.
(b)
No.
Tokoh
Karakteristik Tokoh serta Penegasan Kalimat dalam Cerpen
1.
Sulaiman
·           Rendah hati dan lembut
Terbukti pada halaman 33 paragraf 6 yang berbunyi, “Terimakasih,Nona! Hanya 18 kain tapis itulah barang yang bisa kami bawa. Terserah nona mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke Jawa. 18 kain tapi ini disulam ibu saya dengan sepenuh hati betahun-tahun.” begitulah Sulaiman berkata.
·           Pemberani, penyayang, pantang menyerah, dan gigih
Terbukti pada halaman 35 paragraf 1 yang berbunyi, “Ia seperti ayahnya, dengan naluri besarmelindungi dan membela para petani. Menyelundupkan biji-biji kopi agar tetapbisa dijual, sebagai upaya agar parapetani bisa bertahan di tengah berbagaiancaman. Ia seperti ayahnya, tak bisa melihat orang lain menderita. Kau tahu Nona ia melihat dengan kepala sendirisaat ayhnya di tembak mati.
Wawasannya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan terutama: tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.”
2.
Zhu Ni Xia
·           Baik hati dan dermawan
Terbukti pada halaman 33 paragraf 1 yang berbunyi, “Saya memang tidak tahu dimana saya harus tinggal, Nona. Saya datang ke sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu saya tidak akan lagi merepotkan….”
·           Tergesa-gesa dalam mengambil keputusan
Terbukti pada halaman 34 paragraf 7 yang berbunyi, “Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, aku siap dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan keputusanku yang terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.”
·           Cerdas dan ulet
Terbukti pada halaman 29 paragraf 5 kalimat ke 3 yang berbunyi, “Maka begitu jugalah sejarah kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan perempuan matang diusia remaja…”
·           Gigih dan ulet
Terbukti pada halaman 30 pargraf 2 kalimat ke 3 yang berbunyi, “Dialah perempuan dengan masa depan gemilang dari kegigihan dan keuletan.”
3.
Nyiwar
·           Baik dan lemah lembut
Terbukti pada halaman 34 paragraf 9 yang berbunyi, “Bulatan cahaya bulan, bunga, kopi, dan warna laut di atas kain tapis, seperti hamparan tanah, Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona genggam sekepal tanah, rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna , semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar…”

·      Penyayang, sabar, dan pekerja keras
Terbukti pada halaman 34 paragraf 12 sampai 13 yang berbunyi, “Jadi Ibu membesarkan Sulaiman sendiri?”
“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua, semua, semua adalah tinggal keringat kami. Dan juga doa.”
4.
Zhu Miau Jung
Baik, tegas, bijaksana, dan mulia.
·            Terbukti pada halaman 30 paragraf 3 kalimat ke 4 yang berbunyi, “Bukan lantaran usiaku telah mulai tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukan tak pernah mengenal umur. Tapi kau harus segera menetapkan pilihan hidupmu. Pergilah, Zhu, kau sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap walet-walet itu, dan letakkan dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama besar ayahmu, untuk nama baik leluhurmu!”
5.
Made Sukari
Baik dan pemberani.
·           Terbukti pada halaman 31 paragraf 8 kalimat ke 4 yang berbunyi, “Maka tak perlu lagi bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul di balai kampong lalu memainkan gamelan bamboo cetik dengan putus asa, aku sudah berkata : “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
6.
Sutinah
Sigap dan penurut.
·           Terbukti pada halaman 32 paragraf 5 sampai 6 yang berbunyi, “Sutinaaah” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap Sulaiman, “Kalian belum makan berhari-hari? Demi tuhan, aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua supir menceritakan isu-isu simpang siur. Astaga.”
“Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “Segera siapkan makanan!”

(c) Latar cerita merupakan lingkungan, yaitu dunia cerita yang meliputi tempat, waktu, dan suasana yang berguna untuk membangkitkan suasana. Dalam latar itulah segala peristiwa yang menyangkut hubungan antartokoh terjadi. Latar dalam cerita biasanya mempunyai dua tipe. Pertama, latar yang diceritakan secara detail. Hal ini biasanya terjadi jika cerpen fokus pada persoalan latar. Kedua, latar yang tidak menjadi fokus utama dalam masalah. Biasanya latar di sini hanya disebut sebagai background saja sebagai tempat peristiwa, tidak dideskripsikan secara detail.
Setelah kalian membaca cerpen “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina” itu, gambarkanlah latar yang membangun cerpen itu.
Latar Tempat
Definisi : Merupakan keterangan yang menunjukkan tempat dimana peristiwa terjadi dalam cerita.
         1.         Bukit Barisan
·      Terbukti pada halaman 28 paragraf 3 :
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karang-karang yang menjorok runcing dan tegak menuju kearah perih laut Hindia, dri Krui hingga Pulau Betuah.
         2.         Bandar Lampung
·      Terbukti pada halaman 29 sampai 30 paragraf 5 kalimat ke 3 : 
Maka begitu jugalah sejarah kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa pesona kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan perempuan matang di usia remaja—seorang anak saudagar besar dengan bakat cemerlang.
         3.         Balai Kampung
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 1 kalimat ke 3 :
Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan bambu cetik, dengan nada putus asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak sama, dan tak sudi untuk pergi.
·      Terbukti pada halaman 31 sampai 32 paragraf 8 kalimat ke 5 :
Demi Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus asa, aku sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
         4.         Ladang
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 1 kalimat ke 3 :
Demi Tuhan, kesedihan turun lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada ladang -  ladang kopi.
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 5 kalimat ke 2 :
Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus, hus, pergilah dari ladang kami.”
         5.         Hutan
·      Terbukti pada halaman 32 paragraf 1 kalimat ke 2 :
Gelap aku menerabas pepohonan, menyeret tangan Nyiwar–ibuku. Berkelebat di pekat hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari.
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 7 kalimat ke 3 :
“Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”
         6.         Rumah Zhu
·      Terbukti pada halaman 32 paragraf 1 kalimat ke 6 sampai paragraf 3 :
Hingga tiba di kampung yang entah, sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini.
“Tolong bukakan gerbang. Katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
***
Sulaiman dan berpuluh lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa karung-karung biji kopi berkualitas baik . tapi kali ini Zu melihat sesosok lelaki berantakan penuh goresan luka serta menggenggam erat tangan perempuan tua. Lelaki itu menggembol bungkusan kain yang jelas pastilah bukan biji kopi dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “Cepat masuk!”
         7.         Kualakambas
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 5 kalimat ke 2 :
Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa bermata lembut.
·      Terbukti pada halaman 32 paragraf 5 :
“Sutinaaah” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap Sulaiman, “Kalian belum makan berhari-hari? Demi tuhan, aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua supir menceritakan isu-isu simpang siur. Astaga.”
         8.         Halaman Rumah Zhu
·       Terbukti pada halaman 34 paragraf 8 kalimat pertama :
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman, duduk berdua, melihat laut melewati bulan.

         9.         Pelabuhan atau Bandar
·       Terbukti pada halaman 35 paragraf 4 kalimat ke 2 :
Pada malam ketika kapal barang singgah di bandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.
·       Terbukti pada halaman 35 paragraf 9 kalimat pertama :
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di bandar, mengendap di subuh hari.
Latar Waktu
Definisi : Merupakan keterangan yang menunjukkan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita.
1.      Sore hari
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 2 kalimat pertama :
Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah lembah, “Celaka. Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
2.      Malam hari
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 1 kalimat pertama :
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam.
·      Terbukti pada halaman 34 paragraf 8 kalimat pertama :
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman, duduk berdua, melihat laut melewati bulan.
·      Terbukti pada halaman 34 paragraf 1 kalimat ke 5 :
Hingga larut malam tak ada kabar. Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kain tapis.
3.      Pagi hari
·      Terbukti pada halaman 34 paragraf 1 kalimat 2 sampai 4 :
Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru warna yang menyerupai cermin.
Disanalah surga dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang. 
·      Terbukti pada halaman 34 paragraf 2 kalimat pertama :
Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis.
4.      Siang hari
·      Terbukti pada halaman 34 paragraf 2 kalimat ke 2 :
Dan pada siang hari, seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,

5.      Sepenggal hari
·      Terbukti pada halaman 29 paragraf 3 kalimat ke 2 :
Lalu menjelang sepenggalah hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan bergerak cepat memintas selat menuju Teluk Lampung dan Teluk Semangka.

6.      Subuh hari
·      Terbukti pada halaman 35 paragraf 9 kalimat pertama :
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat dibandar, mengendap di subuh hari.
Latar Suasana
Definisi : Merupakan gambaran suasana peristiwa yang terjadi dalam cerita.
1.      Tegang
·       Terbukti pada halaman 31 paragraf 1 sampai 8 dan halaman 32 paragraf 1 sampai 2 :
     Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung, membakar atap dan dinding—puluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihan turun lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada lading - ladang kopi. Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan bambu cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan- pukulan itu mereka menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak sama, dan tak sudi untuk pergi.
     Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah lembah, “Celaka. Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
     Dua ekor gajah telah mati, seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak, dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan gemetar menjalar, melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang langsung siaga.
“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini pertanda celaka!”
      Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa nyawa dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah memiliki tautan hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai membelah leher.
     Mereka akan pergi dengan langkah lamban, dan anak-anak seringkali menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “Pergilah wahai barisan gendut, menuju hutan, bersama angin, menyongsong hujan....”
     Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan gajah yang mati akan menuntut balas dari negara. Sudah terlalu lama kampung ini berurusan dengan negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh berkata: “Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”
     Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa pergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang, untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus asa, aku sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
     Tapi mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul, lalu suara-suara jeritan, teriakan dan entah—barangkali kematian. Gelap aku menerabas pepohonan, menyeret tangan Nyiwar–ibuku. Berkelebat di pekat hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari. Entah berapa waktu telah hilang digerus perih dan lapar, dan kesakitan. Hingga tiba di kampung yang entah, sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini.
     “Tolong bukakan gerbang. Katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
2.      Haru
·       Terbukti pada halaman 32 paragraf 3 sampai 6 dan halaman 33 paragraf 1 sampai 7 :
     Sulaiman, dan berpuluh lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat sesosok lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggenggam erat tangan perempuan tua. Lelaki itu menggembol bungkusan kain—yang jelas pastilah bukan biji kopi—dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “Cepat masuk!”
“Mohon maaf, Nona Zhu, ini ibu saya,” Sulaiman memperkenalkan Nyiwar.
“Saya tidak membawa...”
     “Sutinaaaah,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap Sulaiman, “Kalian belum makan berhari-hari? Demi Tuhan, aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua sopir menceritakan isu-isu simpang-siur. Astaga.”
      “Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “Segera siapkan makanan!” Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “Setiap petugas yang datang memeriksa gudangku, selalu aku katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari perkampungan yang masuk kawasan hutan negara. Tapi kau tahu, Sulaiman, bertahun -tahun aku tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku mendapat penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman? Sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah menyiapkannya. Setelah itu, pergilah.... Demi Tuhan, Sulaiman, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak bisa menawarkan kalian untuk tinggal.”
     “Saya memang tidak tahu di mana saya harus tinggal, Nona. Saya datang ke sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu saya tidak akan lagi merepotkan....”
Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
[...]
    Selalu ia berkata: “Belum saatnya engkau mengerti, Zhu. Tetap tinggallah di kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak orang di rumah ini. Engkau mengerti?”
    Dan ia hanya mengangguk. Dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.
    Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua, menjadi pelarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang itu dari jauh, dari seberang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam. Demi Tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri tegak di antara para pelarian, meskipun penuh resiko.
    “Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tapis itulah barang yang bisa kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke Jawa. Delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa.
Bertahun-tahun,” begitulah Sulaiman berkata. Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati perih.
3.      Gelisah
·      Terbukti pada halaman 33 paragraf 8 sampai 10 dan halaman 34 paragraf 1 :
     Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan getaran dahsyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari silangan benang emas dan benang perak, liukan-liukan garis yang menyerupai api, cinta, dendam, serta gambar-gambar dekoratif dalam olahan lambang daun, tanah, laut dan langit, telah menuntunnya untuk berkaca pada dirinya, serta hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta yang tertahan rindu dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa telanjang dan malu. Betapa ia malu.
Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.
“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan. Susuri desa dan jalan pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam! Kalian paham? Bawa mereka ke sini, bawalah mereka....”
      Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar. Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kain tapis.
4.      Bahagia
·      Terbukti pada halaman 34 paragraf 2 sampai 5 :
     Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
     “Mereka sudah ada di depan, Nona.”
     Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidak sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah di sini.”
     “Terimakasih Nona. Tapi kenapa?” Sulaiman menyela.
·      Terbukti pada halaman 35 paragraf 3 sampai 8 :
      Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti, maka cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunang - kunang yang melesat memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasannya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan terutama: tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.
     Zhu Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada malam ketika kapal barang singgah di bandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.
     “Aku telah menemukan lelaki, Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya. Datanglah segera, untuk menjadi wali bagi putrimu tercinta.”
      Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
     “Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan berganti.
       Ketika madu tumpah di lautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar—perempuan lembut sekokoh karang—dan ia resmi memanggil Abang kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada parasnya yang jelita.

5.      Sedih
·      Terbukti pada halaman 35 paragraf 9 sampai 11 :
    Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung.
    Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara. Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita, membakar gudang dan memporakporandakan segala.
    Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakan di pagi buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penuh cinta.

(d) Alur merupakan keseluruhan sekuen (bagian) peristiwa yang terdapat dalam cerita. Alur adalah peristwa yang terbentuk karena proses sebab akibat (kausal) dari peristiwa lainnya, yang membentuk rangkaian peristiwa dalam cerita, dan berbagai peristiwa yang ada dalam cerita memiliki hubungan yang erat, karena kehadiran satu peristiwa menyebabkan hadirnya peristiwa yang lain. Alur itulah yang menjadi struktur pembangun teks cerita pendek, yang di dalamnya terdapat abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda.
Kalian sudah memahami alur yang membangun cerita pendek di atas.Apakah kalian menemukan keempat kaidah alur itu di dalam cerpen yang ada? Uraikanlah jawaban kalian.
Alur
Pengertian
Contoh dalam Teks
1.     Plausibilitas
(Kemasukakalan atau kelogisan)
Plausibilitas yang disebut juga kemasukakalan atau kelogisan artinya cerita memiliki kelogisan atau suatu alur cerita yang masuk akal dalam penyelesaian masalahnya.
·      Terdapat pada halaman 31 paragraf 7 kalimat ke 4 :
     Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh berkata: “Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”
     Hal tersebut logis yang menjelaskan bahwa Ayah Sulaiman mati terbunuh karena membela tempat tinggal mereka.
·      Terdapat pada halaman 35 paragraf 8 :
     ....ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar—perempuan lembut sekokoh karang—dan ia resmi memanggil Abang kepada suami,...
     Hal tersebut logis karena Zhu memanggil Ibu kepada Nyiwar yang sudah resmi menjadi mertuanya dan memanggil Abang kepada Sulaiman yang juga telah resmi menjadi suaminya.
2.    Suspense
(Keingintahuan)
Suspense artinya perasaan kurang pasti terhadap peritiwa yang terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang kemudian diberi simpati oleh pembaca. Suspense memacu rasa ingin tahu pembaca terhadap peristiwa yang terjadi pada tokoh atau peristiwa lainnya. Hal ini sangat penting agar membuat pembaca tidak jenuh untuk membaca cerita hingga akhir. Intinya dengan suspense cerita akan makin hidup dan mendorong pembaca melanjutkan membaca cerita untuk mengetahui jawaban dari permasalahan.
·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 7 kalimat ke 2 :
     Dan gajah yang mati akan menuntut balas dari negara.
Disini pembaca akan mencari tindakan apa yang akan dilakukan oleh negara sebagai balas perlakuan atas matinya gajah – gajah tersebut.
     Kemudian karena alur cerita dalam cerpen “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina” adalah alur campuran sehingga mendorong pembaca untuk mengetahui akhir cerita. Dari bagian awal cerita telah digambarkan sosok Zhu yang sedih. Hal tersebut meningkatkan rasa penasaran pembaca. Ditambah juga dengan keingintahuan penyebab Ayah Sulaiman bersama 200 petani lain di Kualakambas dibunuh, konflik yang terjadi di Kualakambas, hingga cerita bagaimana Sulaiman dan Zhu dapat menjalin hubungan cinta lalu berakhir menyedihkan.
3.    Surprise
    (Kejutan)

Di dalam cerita ada peristiwa yang berisi kejutan, peristiwa inilah yang dinamakan dengan surprise. Biasanya peristiwa yang dibangun pengarang di luar dugaan pembaca. Dengan adanya surprise, sebuah cerpen menjadi tidak membosankan.

·      Terbukti pada halaman 31 paragraf 5 :
    Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa nyawa dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus, hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah memiliki tautan hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai membelah leher.
·      Terbukti pada halaman 33 paragraf 8 kalimat pertama sampai kedua :
     Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan getaran dahsyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam.
·      Terbukti pada halaman 34 paragraf 2 sampai 4 :
     Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
“Mereka sudah ada di depan, Nona.”
     Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidak sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah disini.”
·      Terbukti pada halaman 35 paragraf 3 kalimat ke 2. Menggambarkan bahwa tiba-tiba Zhu merasakan adanya getaran-getaran cinta pada Sulaiman.
     Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunangkunang yang melesat memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta.
·      Terbukti pada halaman 35 paragraf 9 sampai 11 :
     Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung. Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.
     Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita, membakar gudang dan memporak-porandakan segala.
     Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakan dipagi buta.Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penuh cinta.
4.    Unity
(Kepaduan)

Berbagai unsur yang ditampilkan dalam alur cerita haruslah memiliki kepaduan. Setiap unsur yang ada hendaknya membentuk satu kesatuan yang utuh sehingga keberadaan antar unsurnya menentukan keberadaan unsur yang lain.

·       Terbukti pada halaman 30 paragraf 3 :
     Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak tanah yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan keahlian yang tidak diragukan. Ya ya ya, dialah perempuan dengan aroma laut yang berpadu keindahan teratai. Dialah perempuan dengan masa depan gemilang, dari kegigihan dan keuletan. Dialah yang sejak lahir dididik sebagai pemburu walet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar Zhu Miau Jung—pemburu walet paling terkenal lantaran ketajaman instingnya.
     Pada paragraf tersebut dijelaskan bahwa Ayah Zhu dulu adalah pemburu walet yang ulung. Hal ini berkaitan dengan Zhu yang nantinya akan menjadi pemburu walet yang ulung juga di masa mendatang.
·       Terbukti pada halaman 33 paragraf 3 sampai 7 :
     Selalu ia berkata: “Belum saatnya engkau mengerti, Zhu. Tetap tinggallah di kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak orang di rumah ini. Engkau mengerti?”
     Dan ia hanya mengangguk. Dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.
     Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua, menjadi pelarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang itu dari jauh, dari seberang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam. Demi Tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri tegak di antara para pelarian, meskipun penuh resiko.
     “Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tapis itulah barang yang bisa kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke Jawa. Delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa. Bertahun-tahun,” begitulah Sulaiman berkata.
     Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati perih.
     Pada paragraf tersebut dijelaskan bahwa dulu Ayah Zhu pernah juga menyelamatkan pelarian walau beresiko. Hal ini berkaitan dengan Zhu yang akan menyesal karena menolak menolong Sulaiman. Saat Zhu mengingat bahwa ayahnya pernah menolong pelarian, Zhu langsung mencari Sulaiman dan menawarkan pertolongan atas rasa bersalahnya menolak untuk menolong mereka.
     Dari dua contoh di atas telah menggambarkan bahwa dalam cerpen “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina” memiliki unsur unity dimana peristiwa satu dengan peristiwa lainnya saling berkaitan.

Comments

Popular posts from this blog

Tugas 1 Bahasa Indonesia Memahami Struktur dan Ciri Kebahasaan Teks Cerita Fiksi dalam Novel

Jawaban Uji Kompetensi Wulangan 5 Buku Paket Bahasa Jawa untuk Kelas 12 SMA

Contoh Teks Pewara / Pranatacara dalam Bahasa Jawa