Contoh Teks Ulasan Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”
Ulasan
Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”
1.
Pada
tahun 2010, sebuah film komedi Indonesia karya Musfar Yasin yang disutradarai
oleh sineas ternama Deddy Mizwar berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”
dirilis. Film ini mencoba mengangkat potret nyata dalam kehidupan bangsa
Indonesia melalui celetukan dan dialog para tokoh ataupun melalui keadaan
sehari-hari masyarakat Indonesia di tengah-tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
Dengan mengusung tema pendidikan, film ini menceritakan bagaimana usaha Muluk
(Reza Rahadian), Pipit (Tika Bravani), dan Samsul (Asrul Dahlan) mengubah para
pencopet untuk tidak lagi mencopet dan beralih usaha yang halal menjadi pengasong.
2.
Film ini diawali dengan adegan Muluk berkeliling kota
Jakarta mencari pekerjaan yang halal. Dalam adegan ini diperlihatkan bagaimana
susahnya mencari pekerjaan di Indonesia meskipun seorang lulusan sarjana
manajemen seperti Muluk. Samsul (Asrul Dahlan) dan Pipit (Tika Bravani) juga
mengalami nasib yang sama. Waktu menganggur mereka diisi dengan bermain gaplek
maupun mengikuti kuis berhadiah di televisi. Hal tersebut sangat kontras dengan
banyaknya jumlah pengangguran yang kian meningkat di Indonesia.
3.
Keadaan lingkungan sekitar juga dimanfaatkan sebagai penguat
‘lucunya’ negeri Indonesia yaitu kemacetan lalu lintas, aksi pencopetan,
suasana pasar kecil di pinggir jalan, dan banyaknya pedagang kaki lima yang
beramai-ramai mempromosikan barang mereka dengan gaya menggelitik. Adegan
tersebut menggambarkan banyak masyarakat Indonesia yang masih percaya akan
kekuatan yang dimiliki batu akik, ramalan, dukun, dan hal-hal lain yang berbau
mistis.
4.
Film ini berlanjut ketika Muluk tak sengaja
bertemu dengan pencopet pasar bernama Komet (Angga Putra) yang tak disangka
membuka peluang pekerjaan bagi Muluk. Di markas pencopet , Muluk mengutarakan
keinginannya melakukan kerja sama di depan si bos Jarot (Tio Pakusadewo) dan
para pencopet . “Di Mall kita usaha, di pasar kita jaya, di angkot kita kaya!”
Itulah semboyan masing-masing kelompok pencopet yang memberi mereka semangat
untuk mencari uang. Memang benar, tiga tempat yang telah disebutkan rawan
terjadi pencopetan. Tidak peduli ramai atau sepi, kelompok pencopet tetap
beraksi.
5.
Ada sebuah adegan yang menampilkan kelincahan
para pencopet dalam melakukan aksi mereka di mall, pasar, dan angkot. Walaupun
kondisi sedang ramai, tapi mereka tetap berani mencopet. Pergerakan mereka
cerdik dan cepat. Yang perlu digarisbawahi adegan ini benar-benar adanya. Bukti
angka kriminalitas yang tinggi di Indonesia.
6.
Dengan dibantu dua rekannya Samsul dan Pipit yang juga
sarjana, mereka mengajarkan para pencopet baca tulis, agama, budi pekerti dan
kewarganegaraan. Samsul berkata “Mulai sekarang kalian bebas belajar dengan
cara kalian sendiri.” Lalu mulai mengajarkan cara menulis huruf A. Tapi muncul
celetukan “Kalau begitu, kita juga bebas menulis huruf A, Pak.” “Oke. Kalian
boleh menulis dengan cara apapun, asal hasilnya huruf A.” Begitulah sedikit
cuplikan dialog antara Samsul dengan para pencopet . Faktanya, sistem
pendidikan Indonesia cenderung kaku karena dibatasi oleh peraturan kurikulum
dari pemerintah. Guru dan siswa dikenalkan dengan sistem mengejar nilai bukan
mencari ilmu pengetahuan.
7.
Masih soal permasalah pendidikan di Indonesia.
Muluk berpendapat bahwa pendidikan itu penting. Sedangkan menurut Samsul
pendidikan itu tidak penting. “Setelah gue lulus dari kuliah, gue baru tau
kalau pendidikan itu tidak penting,” kata Samsul. “Pendidikan itu penting.
Karena setelah berpendidikan kita tahu bahwa pendidikan itu tidak penting!”
kata Muluk. Penting atau tidaknya pendidikan di Indonesia masih menjadi
kontroversi. Kebanyakan orang tua menganggap pendidikan tidak penting seperti
Haji Sarbini yang berulang kali berkata pada Muluk bahwa tetangga-tetangganya
bisa sukses tanpa gelar sarjara. Di lain pihak, Muluk dan Haji Makbul
memprioritaskan pendidikan. Layaknya zaman sekarang, pendidikan adalah hal yang
diprioritaskan di Indonesia untuk meraih kesuksesan.
8.
“Sebelum kita belajar agama, gue mau tanya, agama kalian
apa?”
“Agama kita apa ya?”
“Apa aja yang penting enak mbak!”
“Ya sudah, saya putuskan agama yang
diajarkan di sini adalah agama Islam.”
Dialog di atas sangat menyindir
bangsa Indonesia sebagai negara dengan penganut Islam terbesar di dunia namun
tidak menjalankan agamanya dengan benar. Persis dengan istilah Islam KTP. Halal
dan haram sudah tidak ada bedanya lagi. Apapun kondisinya yang penting bisa
menghasilkan uang, akan dilakukan. Seperti halnya pencopet dan koruptor. Di
dalam film ini juga digambarkan orang-orang yang taat beragama yaitu Haji
Makbul (Deddy Mizwar), Haji Rahmat (Slamet Rahardjo), dan Haji Sarbini (Jaja
Mihardja). Mereka sering pergi ke masjid dan pada akhirnya menentang pekerjaan
Muluk dan Pipit karena penghasilan mereka didapat dari uang hasil copet alias
haram.
9.
Koruptor dan korupsi. Banyak sindiran di dalam film
“Alangkah Lucunya Negeri Ini” yang mengarah pada dua kata tersebut. Kritikan
tidak tanggung-tanggung disampaikan melalui dialog tokoh yang ditujukan kepada
para pejabat negara. Selama adegan pengajaran misalnya. "Apa gunanya pendidikan bagi pencopet?". "Pencopet
juga perlu pendidikan. Dengan pendidikan, kalian bisa bekerja di kantor dan
mempunyai kesempatan untuk mencopet ‘brankas’ kantor. Kalian akan mendapatkan
hasil yang jauh lebih besar. Status kalian akan naik kelas menjadi
koruptor." Begitu kira-kira jawaban satir Samsul yang membuat para
pencopet menjawab serempak, “Saya ingin menjadi
koruptor!”. “Orang-orang
yang korupsi itu sekolah. Kalian tidak sekolah makanya jadi pencopet,” imbuh bos
Jarot. Seolah-olah orang berpendidikan tidak ada bedanya dengan orang yang tidak
berpendidikan. Sama-sama berprofesi haram. Hanya beda penghasilan saja. “Kalian
pencopet kalau ditangkap jadi miskin. Kalau koruptor ditangkap, mereka tetap
kaya!”
10.
Tadi koruptor dihubungkan dengan pendidikan. Kali ini
koruptor disandingkan dengan ulah mereka yang sangat merugikan negara
Indonesia. Kritikan pedas disampaikan melalui dialog tokoh Samsul saat Muluk
dan Pipit berhenti mengajar para pencopet sehingga ia harus kembali menjadi
pengangguran. “Muluk, yang paling besar dosanya adalah mereka yang korupsi!
Mereka yang ngabisin duit rakyat! Yang biarin rakyatnya melarat! Yang biarin
rakyatnya jadi tukang copet! Muluk! Lu tega liat gue dihina lagi! Samsul,
sarjana pendidikan tapi tiap hari kerjaannya main gaple, gangguin orang!
Muluk!” Asrul Dahlan mampu mengiris hati penikmat film ini dengan kata-katanya
yang lantang dan penuh penjiwaan.
11.
Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” tidak berakhir bahagia
seperti yang diharapkan oleh kebanyakan orang. Tapi, hal tersebut jelas
menggambarkan kisruh politik, aksi kriminalitas, dan ketidakadilan yang belum
terselesaikan di Indonesia. Film ini ditutup dengan adegan Muluk ditangkap
Satpol PP akibat membebaskan Komet yang mengasong di lampu merah dan layar
hitam bertuliskan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” menjadi akhir dari film ini.
“Kalian terganggu oleh ulah para pengemis dan pengasong tapi tidak terganggu
oleh ulah para koruptor yang memiskinkan kalian! Seharusnya kalian tangkap
koruptor yang sudah memiskinkan negeri ini, memiskinkan kalian!” Lagi-lagi
dialog ini mengiris hati kami sebagai bangsa Indonesia yang rela dimiskinkan
oleh para koruptor.
12.
Layaknya film pada umumnya, film “Alangkah Lucunya Negeri
Ini” sangat menghibur penikmat film karena unsur komedi dan sindiran di
dalamnya yang sejalan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Film ini menceritakan
hal-hal apa adanya. Tidak ada adegan melankolis yang didukung musik sedih.
Sindiran maupun kritik disampaikan sewajarnya tapi telah mampu mengiris hati
penikmat film. Apalagi dua adegan yang diucapkan oleh Samsul dan Muluk di
bagian akhir cerita. Kata-kata mereka benar-benar menusuk para koruptor yang
telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Hebatnya, walaupun sebenarnya banyak
dialog yang disampaikan dengan penuh emosi, tetapi tidak sedikitpun kata-kata
kotor keluar. Film ini juga tidak banyak menyinggung soal asmara.
13.
Sayangnya terlalu banyak adegan kekerasan antara Jarot dan
anak buahnya para pencopet seperti gamparan, pukulan, dan teriakan. Jadi,
kurang baik rasanya jika dipertontonkan pada anak kecil. Musik sebagai latar
belakang juga kurang diperlihatkan di dalam film ini. Padahal, musik berperan
penting dalam penyampain suasana kejadian agar lebih menghayati.
14.
“Alangkah Lucunya Negeri Ini”, sebuah film yang
menggambarkan ketidakadilan dimana-mana. Seolah Indonesia belum merdeka seperti
pada adegan setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya pada upacara bendera
sederhana, pencopet paling kecil mengucapkan “Aaamiin...” lalu diikuti oleh
pencopet lainnya. Lucu, menggelitik, namun mengiris hati.
Comments
Post a Comment