[Artikel] Yuk, Kenali Lebih Dekat PMS a.k.a Premenstrual Syndrome!


    Hi Girls!

    Pasti kalian sangat sering mendengar keluhan atau sambatan seperti...
"Aduh, kayaknya gue lagi PMS nih."
"Plis jangan ganggu! Gue lagi PMS!"
"Lu napa sih? PMS ya? Jutek terus seharian, bikin males deket-deket lu ah!"
    dan lain sebagainya :)
    Di antara kalian mungkin ada yang belum tau sebenarnya apa sih PMS itu? Sering banget disebutin, tentunya oleh kaum hawa hehe. Dikit-dikit PMS diki-dikit PMS. Capek ah, dengernya!
    Atau mungkin beberapa di antara readers sudah tau apa itu PMS tapiii hanya sekedar tau kepanjangannya aja dan sedikit ciri-cirinya.
    Maka dari itu, saya akan membantu readers untuk mengenal lebih dekat PMS di artikel kali ini supaya readers tidak lagi asal-asalan, semuanya dibilangin PMS, padahal belum tentu kan... Dan yang terpenting, di artikel ini readers dapat mengetahui apa saja terapi atau pengobatan untuk kamu-kamu yang lagi PMS nih! Yuk, disimak baik-baik! 


Apa itu PMS?


Yup, benar! PMS a.k.a premenstrual syndrome merupakan ganguan siklik berupa kumpulan gejala fisik (somatik) dan psikiatrik (emosional/mood) yang terjadi selama fase luteal siklus menstruasi, sekitar 5 hari sebelum menstruasi dan berakhir beberapa hari setelah onset menstruasi (Berardi dkk., 2009; Hofmeister dan Bodden, 2016). PMS dialami 80–90% wanita usia produktif, umumnya di awal usia 20 tahunan setelah menarche. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menerbitkan Practice Bulletin pada tahun 2000 berisi kriteria diagnosis menggunakan pola siklus gejala pada wanita. Faktor risiko PMS adalah usia lebih dari 30 tahun dan faktor genetik (Alldredge dkk., 2013).


Ciri-ciri orang lagi PMS apa aja sih?


Gejala PMS mulai dialami remaja 14 tahun, atau 2 tahun setelah menarche, dan bertahan hingga menopause. Gejala PMS umumnya muncul 5 hari atau seminggu sebelum datangnya haid atau saat hari 1 ovulasi, puncaknya sehari sebelum atau hari pertama haid, dan mereda selama beberapa hari setelah haid. Seperti yang tercantum pada tabel 9-4, gejala PMS meliputi gejala fisik dan psikis yang bervariasi di antara wanita namun konstan pada tiap individu. Gejala PMS memiliki tingkat keparahan ringan hingga sedang, dimana tidak sampai mengganggu atau membatasi kehidupan. Gejala PMS akan menghilang ketika hamil, menyusui, dan menopause (Berardi dkk., 2009).

Diadaptasi dari Campagne (2007)


Mengapa bisa terjadi PMS?


Penyebab PMS tidak diketahui secara pasti. Tapi ada dugaan bahwa faktor paling mungkin untuk PMS adalah perubahan neurotransmiter, terutama penurunan serotonin akibat fluktuasi estrogen dan progesteron yang berkaitan dengan iritabilitas, disforia, dan keinginan makan. Neurotransmiter lain (endorfin, GABA, dopamin) dan reseptor beta-adrenergik juga terlibat. Thys-Jacobs (2000) menduga perbedaan siklus kalsium dan zat yang memengaruhi kadar kalsium dalam tubuh (vitamin D atau hormon paratiroid) mungkin menjelaskan gejala PMS. Kadar allopregnanolon (metabolit progesteron yang berinteraksi dengan GABA) yang lebih rendah selama fase luteal pada wanita dengan PMS dapat meningkatkan kecemasan (Alldredge dkk., 2013; Berardi dkk., 2009).


Ada ya Obat untuk PMS?


Yo, siapa bilang PMS tidak ada obatnya? Kalian salah, ada kok! Pemilihan terapi PMS didasarkan atas gejala yang paling parah atau mengganggu serta tingkat keparahan PMS (Premenstrual Dysphoric Disorder). Terapi PMS dibagi menjadi terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi (Berardi dkk., 2009).

Terapi Non-Farmakologi

Tenang aja! Kalo PMS tidak harus selalu minum obat. Bagi readers yang tidak suka minum obat dan PMS-nya tidak parah, bisa memilih terapi non-farmakologi antara lain: latihan aerobik; yoga; modifikasi makanan/diet rendah lemak dan karbohidrat kompleks (gandum) dengan menghindari alkohol, kafein, serta makanan asin dan manis; sertaterapi kognitif-perilaku (relaksasi dan coping skill) (Alldredge dkk., 2013; Berardi dkk., 2009).

Terapi Farmakologi

Ini nih, bagi readers yang menderita PMS parah dimana sampai mengganggu aktivitas bisa memilih pengobatan ini. Hayo, yang tidak suka minum obat harus diabaikan dulu ya, yang penting readers bisa beraktivitas seperti semula.
Terapi farmakologi diberikan untuk wanita dengan gejala PMS yang parah, meliputi analgesik (parasetamol); vitamin (E, pyridoxine/ B6, D); NSAID (ibuprofen, naproxen, asam mefenamat); obat psikotropik [ansiolitik (alprazolam, buspirone), antidepresan serotonergik (nefazodone), SNRI (venlafaxine), SSRI (fluoxetine, sertraline, paroxetine, citalopram, escitalopram)]; antipsikotik (quetiapine); pengubah siklus menstruasi [kontrasepsi oral (ethynil estradiol, levonorgestrel, drospirenone), agonis GnRH (danazol, leuprolide, goserelin, buserelin, histrelin)]; suplemen (myo-inositol, kalsium, magnesium, kalium, mangan); agonis dopamin (bromocriptine, cabergoline); antagonis reseptor aldosteron (spironolactone); diuretik (amonium klorida, kafein, pamabrom); herbal dan akupuntur [saffron, St. John's wort, peppermint, akar angelica, dragon’s teeth, turmeric, daun jeruk, jeruk pahit, chasteberry (Vitex agnus-castus), ginkgo biloba, black cohosh, Justicia pectoralis] (Alldredge dkk., 2013; Berardi dkk., 2009; Hofmeister dan Bodden, 2016, Maharaj dan Trevino, 2015).


    Tuh kan, banyak banget pilihan terapi untuk mengatasi PMS. So, no need to worry anymore :) Readers hanya perlupintar-pintar mengenali gejala PMS yang dialami, seberapa parahkah sampai readers memerlukan obat. Jika tidak terlalu parah, dimana tidak sampai menghambat aktivitas, maka tidak perlu minum obat. Kan percuma minum obat kalau tidak sakit...
    
    Cukup sekian! Semoga artikel ini dapat mengedukasi readers yaa~ ^__^

#dirumahaja #staysafe #stayhealthy #ayolawanviruscorona


Referensi

Alldredge, B. K., R. L. Corelli, M. E. Ernst, B. J. Guglielmo, P. A. Jacobson, W. A. Kradjan, dan B. R. Williams. 2013. Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs, 10th ed. US: Lippincott Williams & Wilkins.
Berardi, R. R., S. P. Ferreri, A. L. Hume, L. A. Kroon, G. D. Newton, N. G. Popovich, T. L. Remington, C. J. Rollins, L. A. Shimp, dan K. J. Tietze. 2009. Handbook of Nonprescription Drugs, 16th Edition. US: American Pharmacists Associaton.
Hofmeister, S. dan S. Bodden. 2016. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder. American Family Physician. 94 (3): 236–240.
Maharaj, S. dan K. Trevino. 2015. A Comprehensive Review of Treatment Options for Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder. Journal of Psychiatric Practice. 21(5): 334–350.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Teks Pewara / Pranatacara dalam Bahasa Jawa

Tugas SBK : Contoh Nirmana Titik, Garis, Bidang, Gempal, dan Tekstur

Tugas Bahasa Indonesia Memahami Struktur dan Kaidah Kebahasaan Teks Opini/Editorial “Menjual Sembari Menjaga Nirwana"